Optimalisasi Penggunaan Teknologi di Era Hyper-Connected Society

Tak dipungkiri, pandemi COVID-19 telah mengubah banyak hal. Pola konsumsi, bekerja, belajar belanja dan banyak lagi aktivitas manusia telah berubah. Lebih mengerucut, perubahan-perubahan tersebut melibatkan teknologi, khususnya yang berbasis digital. Pertanyaannya adalah: akankah tanpa pandemi COVID-19, segala perubahan tidak terjadi?

Jawabannya mudah, perubahanperubahan tersebut sangat mungkin akan tetap terjadi. Pandemi COVID-19 hanya mempercepat segala perubahan tersebut. Apakah anggapan itu tidak berlebihan?

KOMUNIKASI ORANG-KE-ORANG, ORANG-KE-MESIN, DAN MESIN-KEMESIN

Tidak, karena penggunaan teknologi berbasis digital akan makin masif. Kini, manusia hidup di era yang makin terhubung, tak terbatas oleh jarak. Manusia kini sudah menjalani kehidupan di era hyperconnected society.

Konsep hyperconnected society merujuk pada istilah ‘hyperconnectivity’. Istilah tersebut diperkenalkan oleh ilmuwan sosial Kanada Anabel Quan-Haase dan Barry Wellman. Keduanya mengemukakan istilah ‘hyperconnectivity’ melalui studi mereka tentang komunikasi orang-ke-orang dan orang-kemesin dalam organisasi berjejaring dan masyarakat berjejaring. Istilah tersebut mengacu pada penggunaan berbagai sarana komunikasi, seperti email, pesan instan, telepon, kontak tatap muka, dan layanan informasi Web 2.0.

Hyperconnectivity’ juga merupakan tren dalam jaringan komputer di mana semua hal yang dapat atau harus berkomunikasi melalui jaringan akan berkomunikasi melalui jaringan. Ini mencakup komunikasi orang-ke-orang, orang-ke-mesin, dan mesin-ke-mesin. Tren ini memicu peningkatan besar dalam permintaan bandwidth dan perubahan komunikasi karena kompleksitas, keragaman, dan integrasi aplikasi serta perangkat baru yang menggunakan jaringan.

Dengan kata lain, manusia hidup dalam masyarakat yang sangat terhubung. Bukan hanya orang yang saling terhubung, tapi juga dengan perangkat, jaringan, dan aplikasi serta sesama mesin.

SUDAH SEPERTI ‘MESIN’

Hyperconnected society telah lebih dulu mengubah banyak hal dibandingkan pandemi COVID-19. Tak hanya dari sisi konsumen, hyperconnected society juga mengubah banyak hal bagi produsen, Pemerintah, dan entitasentitas lain. Berbagai aktivitas dan kegiatan operasional, termasuk marketing, komunikasi kehumasan (corporate communication dan public relation), proses bisnis, sampai ke model bisnis serta leadership pun turut terimbas hyperconnected society.

Manusia menjadi semakin seperti ‘mesin’ melalui interaksi yang hampir konstan dengan teknologi. Sebagai akibatnya, manusia seakan-akan menjadi kecanduan perangkat digital yang bisa digunakan di banyak gadget, seperti smartphone, komputer dan sebagainya.

Diperkirakan, kini sebanyak 2/3 penduduk bumi telah terhubung.

Demikian pula di Indonesia dari 264 juta penduduk (2018), sudah 170 juta yang terhubung internet (APJII, 2018). Artinya, 65% sudah hidup sebagai connectedsociety. Manusia atau mesin bahkan bisa terhubung dengan mesin lain dari jarak jauh.

Manusia sudah hidup dalam masyarakat yang sangat terhubung. Konektivitas serat dan 5G pun sudah booming di banyak negara.

Jadi, pandemi COVID-19 tidak mengubah cara manusia menjalani kehidupannya sedari awal. Pandemi COVID-19 hanya mempercepat segalanya. Apa yang mengubah segalanya adalah status default digital di dunia.

Maka, optimalisasi penggunaan teknologi di era sekarang diyakini dapat menjadi celah untuk tetap bertahan di era ketidakpastian yang disebabkan oleh pandemi COVID-19. Optimalisasi penggunaan teknologi juga diharapkan dapat membantu manusia menemukan solusi konkret terhadap berbagai kebutuhan aktualnya dan masa depan.

Bagikan artikel ini: