Waspada Ancaman Resistensi Antibiotik di Indonesia

Resistensi antibiotik kerap disebut sebagai “pandemi senyap”. Diperkirakan pada 2050, kematian akibat resistensi antimikroba lebih banyak dibandingkan dengan penyakit kanker. 

Resistensi obat menjadi salah satu ancaman kesehatan yang sangat mengkhawatirkan. Resistensi yang disebabkan penggunaan antibiotik berlebihan atau dosis tidak tepat ini kerap disebut sebagai pandemi senyap. Prevalensi kasus resistensi antibiotik akibat mikroba di dunia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sebanyak 1,27 juta orang meninggal setiap tahun akibat infeksi yang resistan terhadap obat. 

Ditemukan oleh Alexander Fleming pada 1928, antibiotik telah membawa perubahan besar dalam dunia kesehatan. Antibiotik merupakan obat yang digunakan untuk mengatasi atau mencegah infeksi karena bakteri. Obat ini diberikan kepada pasien yang mengalami infeksi primer maupun sekunder, atau untuk tujuan pencegahan (profilaksis) pada kondisi tertentu, misalnya pada pasien yang menjalani tindakan pembedahan atau pencabutan gigi.

Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Indonesia (FF UI) Prof. apt. Rani Sauriasari, M.Med.Sci., Ph.D, sebagaimana dikutip dalam laman UI Mengatakan, masyarakat harus menyadari akan adanya ancaman resistensi antibiotik. Berdasarkan data yang dirilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), angka kematian akibat resistensi antimikroba pada 2014 telah menyebabkan kematian 700 ribu jiwa. 

Dengan cepatnya perkembangan dan penyebaran infeksi akibat mikroorganisme resisten, pada 2050 diperkirakan kematian akibat resistensi antimikroba lebih besar dibandingkan kematian akibat kanker. Diproyeksikan sebanyak 10 juta orang meninggal akibat resistensi antimikroba. Sementara penelitian untuk menemukan antibiotik baru selama lebih dari 60 tahun belum berhasil menemukan antibiotik yang dapat mengatasi bakteri multiresisten. 

Pakar farmasi di bidang klinis ini menjelaskan, penggunaan antibiotik yang tidak terkontrol, baik dalam jumlah maupun jenisnya, dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik tersebut. Artinya antibiotik tidak lagi manjur melawan bakteri karena bakteri telah mengembangkan kekebalan. Hal ini dapat membahayakan pasien karena antibiotik yang seharusnya dapat menyembuhkan penyakit menjadi tidak efektif.

“Bayangkan jika di masa depan terjadi pandemi infeksi bakteri multiresisten. Situasinya akan mirip dengan pandemi Covid-19, di mana tidak ada antibiotik yang efektif untuk mengatasinya. Hal ini akan menjadi bencana kesehatan yang sangat serius,” ucap Rani. 

Perlu Kerja Sama Pemerintah dan Masyarakat

Di Indonesia angka penjualan antibiotik terbilang tinggi. Berdasarkan data yang dirilis IQVIA, lembaga riset informasi dan teknologi kesehatan, penjualan antibiotik di Indonesia pada 2022 mencapai lebih dari Rp10 triliun. Di antara penjualan golongan obat resep pada 2022, antibiotik memiliki persentase penjualan tertinggi hingga mencapai 12,12 persen. Angka tersebut berasal dari penjualan antibiotik melalui resep dokter maupun yang dijual bebas di apotek, lokapasar, dan aplikasi telemedisin.

Menurut Rani, peningkatan penjualan antibiotik dapat dimaklumi jika sebanding dengan peningkatan wabah penyakit infeksi yang membutuhkan antibiotik. Penjualan yang tidak wajar kemungkinan besar disebabkan oleh ketidakpahaman dan kelalaian pasien serta tenaga kesehatan yang berakibat pada penggunaan antibiotik secara tidak rasional. Contohnya, antibiotik diresepkan pada infeksi lain yang bukan disebabkan bakteri. 

Lebih jauh Rani menjelaskan, jika rumah sakit menjadi sumber belanja antibiotik terbesar, pengendalian peresepan dokter harus sesuai dengan indikator rasionalitas peresepan antibiotik dengan diagnosa yang jelas dan berdasarkan pola penyakit yang ada. Namun apabila sumber belanja terbesar berasal dari apotek, penyerahan antibiotik perlu dipastikan apakah dengan atau tanpa resep dokter. 

“Peringatan terhadap dokter yang melanggar perlu ditingkatkan sebagai bentuk pengendalian perilaku peresepan antibiotik. Apoteker penanggung jawab apotek wajib mematuhi aturan pemerintah dan perlu peringatan tegas apabila ada pelanggaran. Ketegasan bahwa antibiotik hanya bisa didapat dengan resep dokter di layanan farmasi resmi juga perlu ditingkatkan.”

Bagikan artikel ini

Artikel lainnya