Hubungan yang terjalin di antara kedua orang tua dan antara orang tua dengan anaknya merupakan media belajar bagi anak bagaimana berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Anak melihat, mempelajari, menyerap, dan menerapkan apa yang mereka lihat dari orang tuanya untuk berinteraksi dengan orang lain. Dengan keluarga yang utuh, anak akan merasa lengkap, diterima, dan dicintai oleh dua orang terdekatnya.
Orang tua merupakan fondasi di mana anak berdiri dengan kedua kakinya untuk membawa dirinya berinteraksi dengan dunia. Jika fondasi tersebut timpang, maka anak pun bisa goyah. Ketimpangan fondasi ini salah satunya disebabkan ketiadaan figur ayah dalam kehidupan anak, yang kini dikenal masyarakat dengan istilah fatherless.
Fatherless merupakan kondisi ketika anak tidak merasakan kehadiran sosok ayah baik secara fisik maupun psikologis. Meskipun anak tersebut memiliki ayah biologis, kehadiran ayah sangat minim dan tidak berperan dalam proses tumbuh kembang anak. Istilah fatherless tidak hanya menekankan pada ketidakhadiran ayah secara fisik, tetapi juga tidak adanya peran dalam pengasuhan anak.
Dampak fatherless bagi pertumbuhan anak perempuan sangat besar. Angka kematian bayi tanpa ayah lebih tinggi dibandingkan anak yang memiliki ayah. Penelitian mengenai perbedaan perkembangan antara bayi perempuan yang memiliki ayah dan tanpa ayah memang masih terbatas, tetapi penelitian yang ada menunjukkan bayi tanpa ayah mungkin mengalami keterlambatan dalam perkembangan kognitif, sosial, dan motivasi.
Pada masa anak-anak dan remaja, anak perempuan tanpa ayah sering menghadapi masalah sosial-emosional, seperti kesulitan dalam membentuk hubungan dan tingkat depresi yang lebih tinggi. Mereka mungkin juga menunjukkan masalah perilaku, termasuk kesulitan akademis dan peningkatan risiko aktivitas seksual dini dan kehamilan remaja.
Perempuan yang tumbuh tanpa ayah ketika dewasa lebih mungkin mengalami masalah psikologis, termasuk rendahnya harga diri dan masalah kesehatan mental. Mereka mungkin kesulitan dalam menjalin hubungan dan merasa tidak lengkap sebagai individu.
Sementara dampak anak laki-laki juga tak kalah mengkhawatirkan. Sebuah studi longitudinal terhadap siswa kelas 4 Sekolah Dasar menemukan tingkat agresi yang lebih tinggi pada anak laki-laki yang hanya tinggal bersama ibunya (Vaden-Kierman et al. 1995; Osborne dan McLanahan, 2007). Penelitian ini menunjukkan bahwa anak laki-laki yang tidak mendapatkan peran pengasuhan dari ayah cenderung tumbuh menjadi anak yang rentan mengalami kenakalan remaja, rendahnya komitmen dan kontrol emosi, serta tingkat agresivitas yang tinggi.
Pahami dan Sikapi Situasi ini dengan Bijak
Membangun hubungan yang erat dengan anak-anak menjadi langkah penting dari ketidakhadiran sosok ayah di dalam keluarga, terutama bagi anak-anak perempuan. Hubungan yang erat dapat membantu anak-anak merasa aman dan didukung. Penting bagi orang tua untuk menghormati kebutuhan anak, termasuk kebutuhan emosional maupun sosial. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan fatherless cenderung memiliki kebutuhan yang lebih besar akan kasih sayang dan perhatian.
Orang tua maupun orang-orang yang terlibat dalam pengasuhan anak perlu menyikapi kondisi minimnya kehadiran ayah di dalam keluarga dengan memahami dan menghadapi situasi ini dengan bijak. Penting bagi kita untuk menghargai peran ibu. Pada situasi seperti ini, ibu sering kali menjadi sumber kasih sayang dan dukungan utama bagi anak-anak sehingga perannya harus didukung dan dihargai.
Sebagai orang tua yang membesarkan anak dengan minimnya kehadiran sosok ayah perlu menghargai peran lain di dalam keluarga seperti saudara atau tetangga yang dapat membantu dalam mengasuh anak. Jika diperlukan, orang tua harus mencari bantuan dari luar seperti tenaga profesional dalam mengasuh anak-anak. Bantuan ini dapat membantu mengatasi ketiadaan ayah sekaligus memberikan dukungan tambahan bagi ibu.
Orang-orang di sekitar ibu atau keluarga yang fatherless ini juga perlu memberikan dukungan dan keterampilan kepada para ibu yang berjuang membesarkan anak seorang diri. Dukungan ini penting agar mereka dapat mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk mengasuh anak dengan baik. Keterampilan yang diperlukan seperti keterampilan mengatur keuangan, mengurus rumah tangga, dan mengasuh anak.
Yang tidak kalah penting ialah menghargai diri sendiri dan tidak merasa bersalah karena ketiadaan ayah. Para ibu harus menghargai upaya mereka dalam mengasuh anak-anaknya.
*Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi., Psikolog., M.Psi. merupakan psikologi klinis anak dan remaja di Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI). Saat ini ia juga praktik di Klinik Anak Mandiri di Depok, Tiga Generasi Klinik Brawijaya Kemang, Klinik Kancil Tebet, dan psikolog di Sekolah Kepompong.