Terdepan Memajukan Hilirisasi Riset dan Inovasi di Tanah Air

Universitas Indonesia mengambil peran sentral dalam memajukan riset dan inovasi di Tanah Air. Berkomitmen menjadi pemimpin dalam menghadirkan solusi bagi permasalahan bangsa melalui riset inovatif. 

Perguruan tinggi memiliki potensi besar menjadi pusat inovasi dan pengembangan teknologi di Tanah Air. Agar universitas mampu memainkan peran dalam menjawab masalah bangsa melalui riset inovatif, pemerintah Indonesia menginisiasi pembangunan Science Techno Park (STP) di perguruan tinggi. STP merupakan kawasan pengembangan dan komersialisasi teknologi. Kawasan ini terdiri dari berbagai fasilitas dan infrastruktur seperti laboratorium riset, pusat inkubasi bisnis, dan ruang kolaborasi. 

Dirancang sebagai kawasan yang memungkinkan terjadinya kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi, dan industri, STP berfungsi sebagai tempat penelitian dan pengembangan, berbagi pengetahuan, dan menghasilkan solusi inovatif untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh industri dan Bangsa Indonesia. Kawasan Sains dan Teknologi ini hadir di Universitas Indonesia (UI). 

Direktur Inovasi dan Science Techno Park Universtas Indonesia (DISTP UI) Ahmad Gamal, S.Ars., M.Si., MUP., Ph.D,. mengatakan, STP berfungsi sebagai teaching factory, yakni pabrik berskala kecil atau skala pilot. Para peneliti dapat menggunakan fasilitas di gedung ini untuk merancang prototipe penelitiannya. 

“Tetapi jangan melihatnya sebagai gedung saja. Yang ingin kita bangun melalui STP ini ialah ekosistem riset dan inovasi yang bersifat lintas disiplin ilmu,” ucap Gamal. 

Ketua Tim Peneliti SMART CITY UI ini menambahkan, seperti ventilator COVENT-20, produk inovasi ini dihasilkan para peneliti UI dari berbagai lintas disiplin ilmu, yakni Fakultas Teknik, Fakultas Kedokteran, dan Fakultas Ilmu Komputer. Melalui STP ini, para peneliti dapat bekerja sama di satu lokasi sehingga lebih efisien dibandingkan dengan melakukan penelitian dan pengembangan inovasi di fakultas masing-masing. 

Sejak empat tahun terakhir, UI telah melakukan perubahan radikal dalam proses riset dan inovasi. Jika sebelumnya proposal penelitian datang dari para dosen, sejak beberapa tahun terakhir, permintaan riset lebih banyak dari industri. Perubahan ini mengubah ekosistem yang selama ini berjalan UI, baik dari sisi kepastian riset dan inovasi yang dapat diimplementasikan untuk menjawab masalah yang dihadapi industri maupun dari sisi pendanaan. Banyak penelitian yang dilakukan oleh UI dibiayai 100 persen oleh industri. 

Terkait pendanaan riset, lanjut Gamal, terdapat berbagai skema yang dilakukan oleh UI. Dari internal UI dana yang digelontorkan untuk riset dan inovasi sangat besar, yakni sekitar Rp160 miliar setiap tahun. Dana ini digunakan untuk penelitian, perjalanan dinas para dosen untuk mengikuti konferensi, membangun prototipe, dan mengembangkan perusahaan rintisan sebagai upaya hilirisasi riset. 

Dari sisi infrastruktur, selain menghadirkan laboratorium di setiap fakultas, UI membangun laboratorium dan teaching factory untuk kebutuhan penelitian. Laboratorium fakultas difungsikan untuk pendidikan dan digunakan mahasiswa untuk praktikum. Sementara laboratorium di tingkat universitas ditujukan untuk penelitian dan pengembangan inovasi. 

“Laboratorium di tingkat universitas bukan hanya satu atau dua laboratorium, tetapi dua gedung. Salah satunya adalah Integrated Laboratory Research Center yang tujuannya ialah memfasilitasi riset dasar,” ujar Gamal. 

Solusi bagi Permasalahan Bangsa Indonesia dan Global

Keseriusan UI dalam mengembangkan penelitian dan inovasi salah satunya bertujuan untuk menjawab masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dan global. Seperti ketika pandemi Covid-19, hasil riset dan inovasi yang dikembangkan UI terbukti memberikan kontribusi positif dan digunakan secara massal, seperti flocked swab, COVENT-20, Swab Test Chamber, Movable Hand Washer, Puvicon DSF-01 dan 02, serta Makara Robot For Contagious Disease (MaRoCo).

Gamal menuturkan, ketika Pemerintah Indonesia mengumumkan pandemi Covid-19, UI bergerak cepat mengidentifikasi apa saja produk yang dibutuhkan untuk Indonesia. Inovasi yang dirancang tentunya bukanlah produk sehari-hari, melainkan produk yang sulit dikembangkan di dalam negeri. Sebagaimana diketahui, rapid test sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi penyebaran virus. Namun, harganya 30 kali lipat lebih mahal dibandingkan harga normal. 

Selain mengucurkan dana yang tak sedikit untuk pengembangan teknologi dalam menangani Covid-19, pengembangan inovasi yang dilakukan UI terbilang sangat cepat. Dalam waktu tiga bulan saja, berbagai inovasi berhasil diciptakan oleh UI. Dalam waktu enam bulan, berbagai inovasi dapat diproduksi dan masuk ke dalam katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sehingga langsung bisa dihilirisasi dan digunakan oleh pemerintah. 

Sejak diluncurkan pada 2021, ventilator COVENT-20 telah laku terjual sebanyak ratusan unit. Sementara rapid test flocked swab bahkan menghasilkan pendapatan sebesar Rp14 miliar. Gamal menilai, angka tersebut bukanlah parameter keberhasilan UI dalam memberikan kontribusi bagi negeri. Menurutnya, melalui inovasi ini, UI dapat berperan besar dalam penanganan Covid-19 di Tanah Air. 

“Sangat ingat betul, pertama kali rapid test dihargai Rp3 juta. Harganya mahal karena semua instrumen test dari impor. Begitu kita produksi sendiri, harganya hanya Rp10 ribu. Beredarnya flocked swab secara langsung berdampak pada menurunkan harga rapid test di pasaran,” ucap Gamal. 

Lebih jauh Gamal menjelaskan, selain menghadirkan produk inovasi, para peneliti UI terlibat aktif dalam merancang berbagai policy brief pada masa Covid-19. Sebanyak 22 policy brief hasil rancangan peneliti UI ini kemudian digunakan oleh pemerintah dalam menetapkan berbagai kebijakan penanganan wabah Corona di Indonesia. 

Iklim Riset yang Mendukung

Keberhasilan UI dalam menghasilkan inovasi yang mampu menjawab masalah yang dihadapi Indonesia tak lepas dari upaya membangun iklim riset yang mendukung sekaligus memupuk lahirnya para peneliti muda di lingkungan universitas. Peneliti muda sangat diperlukan sebagai regenerasi peneliti, terutama dalam menjawab perkembangan dunia riset yang kian pesat di seluruh dunia. 

Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA UI) Handhika S. Ramadhan, Ph.D., mengatakan, jika membaca sejarah, dalam konteks bidang fisika, banyak teori yang dihasilkan oleh para peneliti muda. Isaac Newton, misalnya, menemukan teori gravitasi ketika berusia 26 tahun. Albert Einstein berhasil menemukan teori relativitas pada usia 26 tahun. Sementara Werner Heisenberg menemukan teori matematika kuantum pada usia 22 tahun. 

“Penekanannya bukan krusial atau tidaknya peneliti muda, tetapi kalau membaca sejarah, terutama di bidang fisika, memang banyak riset yang dikembangkan peneliti muda. Saya pikir, tren ke depan akan banyak lahir peneliti muda,” jelas Handhika. 

Terkait iklim riset, menurut pria yang penelitiannya berfokus pada teori fisika, salah satunya mengenai black hole dengan mengamati cahaya dan benda-benda langit di sekitar lubang hitam, sebagai institusi, UI telah membangun iklim riset yang baik. Hibah penelitian yang digelontorkan UI sangat mendukung para peneliti dalam mengembangkan penelitiannya. Kendati penelitian teori tidak membutuhkan dana yang cukup besar, bagaimanapun hibah merupakan urat nadi dalam penelitian. 

Pria yang kerap membagikan konten matematika dan fisika di channel Youtube ini menambahkan, iklim riset sejatinya harus dibangun secara top-down. Hibah penelitian dan infrastruktur yang mendukung di lingkungan universitas sudah berjalan dengan baik. 

“Kendati demikian, riset harus tumbuh dari bottomup. Oleh karena itu, selain pendanaan dan infrastruktur, penting untuk memfasilitasi para ilmuan agar dapat terus berkolaborasi. STP diharapkan bisa menjembatani para peneliti lintas disiplin ilmu yang ada di UI,” ucap Handhika. 

Pentingnya Integritas dan Research Excellence

Senada dengan Handhika, Krisna Puji Rahmayanti, S.I.A., M.P.A, dosen Fakultas Ilmu Administrasi (FIA UI) mengatakan, iklim riset dan inovasi di UI sudah sangat baik, terutama terkait hibah dan upaya untuk mendorong kolaborasi antara dosen UI dengan dosen-dosen di universitas luar negeri dari lintas disiplin ilmu. 

“Saya mengapresiasi upaya yang dilakukan UI dalam membangun iklim riset dan inovasi. Namun, agar riset dan inovasi semakin berkembang diperlukan alokasi waktu untuk penelitian, akses terhadap grand riset, dan memperluas kolaborasi penelitian di kancah internasional. Tentunya peneliti juga harus mulai berpikir untuk mengakses penelitian yang sifatnya kolaboratif lintas negara,” ujar Krisna. 

Perempuan yang terpilih mengikuti Science Leadership Collaborative (SLC), forum bagi para peneliti muda untuk menggali potensi dan kapasitas sebagai pemimpin sains ini berharap, apa pun kondisinya, di tengah keterbatasan sekalipun, para peneliti di Indonesia tetap mampu menjaga integritas. Selain itu, research excellence atau kualitas riset yang bagus harus menjadi standar utama, bukan sekadar bisa dipublikasikan di jurnal internasional. Sebab jurnal yang tidak terindeks akan menurunkan kredibilitas peneliti. 

Krisna yang penelitiannya berfokus pada environmental governance, tata kelola pemerintahan dalam merespons climate change ini menambahkan, berdasarkan evaluasi pemerintah Inggris terkait penelitian dalam 10 tahun terakhir, publikasi internasional merupakan impact minimal dari sebuah penelitian. Sementara di Indonesia, publikasi internasional dianggap sebagai impact tertinggi dalam penelitian. Padahal yang terpenting ialah berdampak bagi masyarakat. 

“Saya rasa ini bisa diadopsi oleh Indonesia. Hibah penelitian harus diukur dari seberapa besar dampak positif yang diberikan kepada masyarakat. Jadi bukan dari sisi kuantitas atau terpublikasi di jurnal Q1, tetapi juga berdampak bagi masyarakat,” ucap Krisna. 

Bagikan artikel ini

Artikel lainnya