Inovasi pendeteksi longsor berbasis Internet of Things ini dirancang sebagai mitigasi risiko terhadap daerah rawan longsor terutama di pemukiman berpendapatan rendah. Ringkas dan mudah digunakan masyarakat.
Posisi geografis Indonesia yang berada di antara tiga lempeng besar dunia yang terus aktif bergerak menjadikan sebagian wilayah di Tanah Air rawan akan bencana gempa bumi dan tsunami. Ancaman bencana hidrometeorologi seperti longsor, banjir, kebakaran hutan dan lahan juga menjadi ancaman yang perlu diwaspadai. Masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan sebab tren fenomena bencana longsor cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Guna meminimalisir risiko masyarakat Indonesia terhadap bencana longsor, tim peneliti dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI) yang terdiri dari Dr. Parluhutan Manurung (Geografi), Dr. Supriyanto (Geosains), dan Iskandar Koto, M.Sc. (Geosains), mengembangkan Landslide 2.0, teknologi Landslide Early Warning System (LEWS) untuk pemantauan tanah longsor secara online.
“Motivasi kami ialah menyediakan LEWS berbasis masyarakat. Selain mudah dioperasikan dan dirawat secara mandiri, teknologi dengan harga terjangkau ini diharapkan dapat mengurangi risiko bencana longsor secara signifikan yang berdampak di daerah pemukiman masyarakat terutama berpendapatan rendah,” terang Dr. Parluhutan Manurung.
Luhut, demikian ia biasa disapa menambahkan, teknologi LEWS rancangan FMIPA UI ini berfungsi mendeteksi perubahan jarak dan perubahan kemiringan di daerah yang dianggap rawan longsor. Perubahan jarak atau retakan sebagai indikasi dari pergerakan tanah dipantau secara terus-menerus menggunakan sensor laser rangefinder yang ditempatkan di satu sisi tiang pantau. Kerumitan pola perubahan pergerakan tanah sebagai indikasi longsor kemudian dikonfirmasi dengan pemantauan vertikalitas atau ketegakan dari tiang pantau, tempat sensor laser ditempatkan.
Hasil pemantauan mengenai ukuran jarak dari sensor laser rangefinder terhadap perubahan vertikal dari sensor inclinometer terus dikirimkan ke jaringan internet ke website pemantauan longsor. Apabila perubahan jarak dan vertikal yang diukur telah melampai ambang batas maka sistem secara langsung akan memberikan notifikasi peringatan kepada user untuk menghindari daerah rawan longsor.
Murah dan Mudah Digunakan Masyarakat
Mulai dirancang pada Agustus 2020, dalam pembuatannya Landslide 2.0 melalui serangkaian tahapan standar engineering perancangan sensor elektronik yang bersifat out door, mulai dari studi literatur sensor longsor, perancangan sistem elektronik seperti printed circuit board, komunikasi data, power supply, dan pemilihan sensor. Selain itu peneliti juga melakukan manufacturing prototype, uji coba laboratorium, uji coba lapangan, penyempurnaan sistem dan solusi, hingga pelaporan dan publikasi.
Inovasi besutan tim peneliti FMIPA UI ini memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan LEWS lain, seperti akurasi sensor pemantauan secara realtime pergerakan tanah penyebab longsor hingga fraksi ketelitian milimeter. Pemantauan akurat merupakan kunci dari pemantauan longsor sehingga alat ini dapat diandalkan. Dibandingkan dengan LEWS lain yang masih bersifat mekanik, Landslide 2.0 dirancang dengan sistem bersifat elektronik sehingga tidak rentan terhadap gangguan fisik.
“Sistem berbasis Internet of Thing ini dapat diintegrasikan dari sistem lokal masyarakat ke pemerintah kabupaten, provinsi, hingga terintegrasi dengan sistem nasional,” jelas Luhut.
Luhut berharap melalui Landslide 2.0, pemantuan bersifat lokal di berbagai lokasi rawan longsor akan dapat diintegrasikan secara nasional sehingga pola pergerakan tanah di berbagai daerah di Indonesia dapat dianalisis secara lebih komprehensif dan lengkap. Menurutnya, pembangunan LEWS secara nasional sangat mungkin dilakukan dengan menerapkan skema partisipasi masyarakat. Langkah ini dinilai lebih realistis dan meringankan pemerintah.
Pembangunan Landslide 2.0 berbasis masyarakat, lanjut Luhut, sangat memungkinkan karena aparat maupun masyarakat desa dapat memanfaatkan dana desa untuk membangun teknologi pendeteksi longsor ini. Dengan harga terjangkau, Landslide 2.0 hanya membutuhkan kurang dari 10 persen dari dana desa. Harga yang terbilang murah untuk mengurangi dampak risiko bencana longsor di daerah rawan longsor.