Sosok Inspiratif Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia

Prof. Dr. dr. Erlina Burhan, Sp.P(K), M.Sc.

Menanggulangi tuberkulosis di Indonesia memang tak mudah. Namun, ia tak pernah mengambil langkah mundur untuk menanggulangi dan menghapus stigma penderita tuberkulosis di Tanah Air.

Kiprah Prof. Dr. dr. Erlina Burhan, Sp.P(K), M.Sc., dalam menanggulangi Tuberkulosis (TB) di Tanah Air diganjar sejumlah penghargaan, salah satunya Anugerah Perempuan Hebat 2024 kategori kesehatan pada ajang Cita dan Cipta yang diselenggarakan oleh Liputan6.com x FIMELA pada 31 Juli 2024. Erlina dinilai sebagai sosok yang konsisten dan menginspirasi dalam upaya penanggulangan TB di Indonesia.

Lahir di Padang, 15 Mei 1963, Guru Besar bidang Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Universitas Indonesia ini menghabiskan masa kecilnya hingga kelas 1 SMA di Bandung. Erlina kemudian mengikuti program pertukaran pelajar di Clarence Central High School, Amerika Serikat, hingga lulus SMA. Menjadi dokter adalah impian yang telah dipupuknya sejak bangku sekolah dasar. 

“Waktu SMA, saya senang sekali pelajaran biologi. Guru yang mengajar keren sekali karena membuat kita bisa mengerti, mulai dari tumbuh-tumbuhan hingga organ manusia. Saya semakin tertarik menjadi dokter,” kenang Erlina. 

Universitas Andalas menjadi pelabuhan Erlina untuk menggapai cita-citanya menjadi dokter. Selepas meraih gelar dokter umum pada 1989, ia yang sempat mengabdikan diri di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Sumatera Barat memperoleh informasi adanya beasiswa pendidikan dari pemerintah Jerman, yakni Deutscher Akademischer Austauschdienst (DAAD) Scholarship

Salah satu jurusan dalam rumpun ilmu kesehatan yang ditawarkan oleh Pemerintah Jerman saat itu ialah Program Master Community Health. Memiliki skor IELTS yang cukup baik, setelah melewati serangkaian tahapan, Erlina berhasil meraih beasiswa tersebut dan melanjutkan pendidikan magister bidang Community Health di Heidelberg University, Jerman. 

“Uniknya di universitas ini, tugas akhirnya harus melakukan penelitian. Menurut saya unik karena penelitian tidak boleh dilakukan di Jerman atau negara asal. Akhirnya saya dapat tawaran dari Afrika. Di sana saya meneliti tentang TB dan mencari tahu mengapa banyak pasien yang berhenti sebelum pengobatan selesai,” ucap Erlina. 

Pasien Tuberkolosis Bisa Sembuh

Pengalaman meneliti TB di Afrika membuka matanya bahwa tantangan yang dihadapi Indonesia dalam memerangi penyakit ini sangat besar, terutama mengenai kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan. Maka sepulangnya ke Tanah Air, ada dua hal yang ingin dilakukannya, melanjutkan pendidikan Spesialis Ilmu Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi di UI dan mendedikasikan dirinya untuk menanggulangi penyakit TB di Indonesia. 

Menurut Erlina, bangsa ini seperti terperangkap. Penanggulangan TB selayaknya jalan di tempat  tanpa banyak inovasi yang hasilnya signifikan. Padahal TB merupakan penyakit menular. Kalau ada 1.000 pasien dan yang diobati hanya 500 pasien, maka sisanya berpotensi menjadi sumber penularan. 

“Kita sibuk mengobati, itu pun sebagian pengobatannya tidak selesai. Yang sakit tidak dicari dan yang sehat pencegahannya juga masih kurang. Jadi kita belum komprehensif,” ujar Erlina. 

Perempuan yang semasa kecilnya gemar membaca puisi ini menambahkan, penanganan TB tidak boleh hanya berfokus pada pengobatan saja, tetapi juga harus mencakup pencegahan, pencarian kasus, dan pengurangan stigma. Menurutnya, banyak penderita TB yang dikucilkan dan dikeluarkan dari tempat kerjanya. Stigma ini membuat penderita TB menyembunyikan penyakitnya dan tak jarang enggan untuk mengobati penyakitnya. 

Masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa TB merupakan penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Padahal, obat Tuberkulosis sudah ada sejak 1950-an. “Pada 1960, sudah ditemukan empat obat. Proses pengobatan juga dapat dilakukan lebih singkat, dari awalnya satu tahun, kemudian bisa dilakukan dalam enam bulan saja. Mendekati tahun 2000, proses pengobatan bisa dilakukan dalam enam bulan.” 

Perempuan yang menjadi staf pengajar di UI sejak 2005 ini menambahkan, penting bagi seluruh pihak untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa TB bisa disembuhkan. Pasien TB membutuhkan dukungan sosial agar dapat pulih sepenuhnya. Terlebih lagi, memberantas TB tidak hanya menguntungkan pasien, tetapi juga melindungi masyarakat dari risiko penularan.

Bagikan artikel ini

Artikel lainnya