Inovasi ini merupakan solusi akan minimnya data batimetri di Tanah Air. Alternatif untuk mempercepat pemetaan di wilayah perairan dangkal tanpa risiko yang besar.
Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam mengoptimalkan wilayah perairannya. Namun, potensi ini menyimpan tantangan yang tak kalah besarnya. Minimnya data batimetri, yakni informasi mengenai kedalaman dan kondisi topografi dasar laut, masih menjadi masalah yang dihadapi bangsa ini. Padahal data batimetri, terutama di perairan dangkal terumbu karang sangat penting untuk mencegah kapal menabrak terumbu karang yang dapat menyebabkan kerusakan hingga kandasnya kapal.
Guna mengatasi masalah ini, Dr. Eng. Masita Dwi Mandini Manessa, Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI) meluncurkan Aplikasi Shallow Water Mapper (SWM). Berkolaborasi dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) Republik Indonesia, SWM merupakan Aplikasi perangkat lunak dengan mengadopsi teknologi Satellite Derived Bathymetry untuk pemetaan batimetri perairan dangkal semi detail sehingga tidak lagi ketergantungan pada survei lapangan.
Dosen di Departemen Geografi FMIPA UI ini menjelaskan, ide awal SWM berasal dari disertasinya yang dibuat sejak 2012 hingga 2017. Saat menempuh pendidikan doktoral penginderaan jauh, ia mengetahui terdapat teknologi untuk menghasilkan informasi kedalaman laut menggunakan data citra satelit optik. Dengan luasnya perairan Indonesia, data dari citra satelit perlu didukung survei lapangan. Sementara pengukuran langsung sulit dilakukan dan belum mampu menjangkau daerah-daerah pelosok Indonesia.
“Jadi, kami mengembangkan teknologi atau metode yang tidak memerlukan data lapangan. Melalui SWM ini kita bisa mengekstrak informasi kedalaman laut, khususnya di perairan terumbu karang,” ucap Masita.
Masita menambahkan, SWM memanfaatkan satelit-satelit yang tidak dikomersialkan seperti Landsat-8, Landsat-9, dan Sentinel-2. Dengan menggunakan data satelit yang dapat diakses oleh publik secara gratis ini, pengguna SWM bisa mengakses, mengolah, dan menganalisis data batimetri dengan efisiensi dan akurasi tinggi.
Aplikasi pemetaan batimetri pertama buatan anak bangsa ini, lanjut Masita, dirancang khusus untuk daerah-daerah tinggi risiko. Ia mengakui, dari sisi akurasi, data yang dihasilkan dari survei lapangan memang lebih baik dibandingkan dengan data yang diperoleh dari satelit. Dengan ketinggian satelit sekitar 400 kilometer di atas permukaan bumi, data yang dihasilkan tentu tidak seakurat dibandingkan dengan menaruh alat langsung di atas air. Namun, aplikasi ini bisa menjadi salah satu alternatif untuk mempercepat pemetaan di wilayah perairan dangkal tanpa risiko yang besar.
Bukti Kemandirian Teknologi
Aplikasi dengan Tingkat Kesiapan Teknologi (TRL) sembilan ini masih akan terus dikembangkan. Pada tahap pertama, SWM diperuntukkan untuk mengukur kedalaman saja. Pada tahap berikutnya, SWM juga dapat digunakan untuk melihat apakah dasar laut tersebut terdiri dari batu, pasir, karang, atau lamun. Jika dasarnya adalah lamun, artinya perairan tersebut merupakan area konservasi sehingga tidak boleh dibangun jeti.
“Aplikasi ini juga akan ditambahkan untuk melihat kualitas air, mulai dari klorofil, salinitas, turbiditas, dan dissolved oxygen-nya. Jadi, ada kebutuhan dari user tidak hanya melihat kedalamannya saja, tetapi juga kualitas air dan tutupan dasarnya apa,” ucap Masita.
Lebih jauh Masita menjelaskan, baik metode pengembangan dan akurasi aplikasi SWM dipublikasikan di jurnal. Hal ini bertujuan untuk menginformasikan kepada user bahwa SWM bukanlah aplikasi black box sehingga informasi mengenai akurasi dan margin error berdasarkan evaluasi dari BIG diketahui oleh pengguna. Margin error aplikasi ini berkisar 1-2 meter. Dengan mengetahui margin error, pengguna bisa mengukur sesuai dengan kebutuhannya.
Masita berharap, selain menjadi solusi data batimetri di Tanah Air, aplikasi ini menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia mampu mandiri dalam teknologi sehingga tidak lagi ketergantungan dengan negara lain. Melalui inovasi ini, ia berharap dapat mendorong para peneliti untuk melanjutkan penelitiannya tidak hanya sampai tahap dokumen saja, tetapi dapat digunakan secara masif. Selain itu, hasil riset yang dilakukan oleh para peneliti sebetulnya memiliki potensi untuk dikomersialkan.
“Sebagai institusi pendidikan, UI memang tidak boleh jualan. Kami menggandeng pihak ketiga, yakni PT Luwes Inovasi Mandini untuk memasarkan inovasi ini. Namun, proses pengembangan aplikasi ini 100 persen dilakukan oleh tim UI.”