Selamatkan Bayi dari Kematian Dini

Inovasi ini membantu menyelamatkan bayi yang mengalami asfiksia, kesulitan bernapas yang menjadi penyumbang terbanyak kematian bayi baru lahir di Indonesia.

Indonesia masih terus “bertarung” dengan tingginya angka kasus kematian bayi baru lahir. Berdasarkan data Bank Dunia, angka kematian bayi baru lahir (usia 0-28 hari) di Indonesia mencapai 11,7 persen dari 1.000 bayi yang lahir pada 2021. Angka ini menunjukkan terdapat 11-12 neonatal yang meninggal dari setiap 1.000 kelahiran. 

Tingginya angka kematian bayi baru lahir ini menempatkan Indonesia peringkat ke-5 kematian neonatal di Asia Tenggara (ASEAN). Kasus kematian neonatal di Indonesia memang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan Vietnam, Brunei, Thailand, dan Malaysia. Jaraknya semakin jauh bila dibandingkan dengan Singapura yang hanya mencapai 0,8 dari 1.000 kelahiran.

Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) Prof. Dr. dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp.A(K), mengatakan, dalam dunia medis terdapat istilah the two third rule. 2/3 kematian bayi terjadi di masa satu bulan pertama kehidupan (masa neonatal) dan 2/3 kematian neonatus terjadi di minggu pertama kehidupan. Penyumbang kematian terbanyak disebabkan oleh asfiksia, yaitu kondisi bayi tidak mampu bernapas setelah lahir.

“Banyak bayi yang tidak bisa merayakan ulang tahun pertamanya karena meninggal di minggu pertama kehidupannya. Hal tersebut dapat terjadi jika bayi tidak mendapat pertolongan yang optimal saat bayi tidak mampu bernapas dengan baik (asfiksia). Asfiksia berkontribusi hingga 22 persen dari total angka kematian bayi baru lahir di Indonesia,” terang Rinawati. 

Rinawati menambahkan, asfiksia didefinisikan sebagai ketidakmampuan bayi baru lahir untuk bernapas secara spontan dan teratur. Pada masa janin, gelembung-gelembung udara dalam paru (alveoli) tidak berisi udara, tetapi berisi cairan. Menjelang bayi lahir (inpartu), air di dalam alveoli tersebut akan diserap masuk ke pembuluh limfe di sekitarnya. 

Saat bayi lahir secara spontan, terjadi pengosongan air pada alveoli secara maksimal akibat tekanan pada jalan lahir. Pengosongan air tersebut akan menyebabkan alveoli menjadi kempis/kolaps. Tangisan pertama bayi baru lahir merupakan tekanan negatif yang akan membuka alveoli yang kolaps. Selanjutnya alveoli tersebut akan mengembang terisi udara dan terjadi proses pernapasan. Sebanyak 90 persen bayi baru lahir mampu melakukan sendiri proses tersebut. 

Kematian bayi karena ketidakmampuan bernapas dengan spontan dan teratur sebetulnya dapat dicegah. Rinawati menilai, kegagalan menolong bayi yang mengalami asfiksia disebabakan oleh dua faktor, kurangnya kompetensi sumber daya manusia dan peralatan medis yang tidak memadai. Banyak tenaga medis yang hanya mampu membantu persalinan bayi yang lahir normal dan sehat, namun bingung ketika menghadapi kasus bayi yang lahir dengan kondisi sulit bernapas seperti kasus asfiksia. Kalaupun kompetensi tenaga medis sudah baik, namun tanpa peralatan yang memadai sulit untuk menolong bayi yang mengalami kesulitan bernapas ini. 

“Kalaupun alatnya tersedia, belum tentu cocok untuk bayi, yang terjadi akan sangat merugikan. Alat yang tidak cocok ini dapat menyebabkan kerusakan paru-paru, otak, hingga menyebabkan kebutaan. Oleh karena itu saya ingin mengambil bagian untuk membantu menyelesaikan masalah ini,” terang Rinawati.

Rinawati yang merupakan Dokter Anak Konsultan Neonatologi ini bersama dengan FK UI dan Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) kemudian mengembangkan hybrid learning untuk membantu para tenaga medis mempelajari resusitasi neonatus. Setelah memperoleh passing grade, peserta pelatihan ini harus mendatangi tempat pelatihan ResNeo yang dikelola oleh organisasi profesi untuk melakukan ujian simulasi kasus sehingga dapat memiliki sertifikat kompetensi. Langkah lainnya ialah menciptakan Mix Safe Transport Infant Blending Resuscitator, alat bantu napas bagi bayi yang baru lahir. 

Mencegah Kematian dan Risiko Kebutaan

Rinawati mengakui tidak mudah untuk menciptakan alat ini. Kunjungan ke Hanoi, Vietnam, menjadi salah satu jalan pembuka baginya untuk menciptakan Mix Safe Transport Infant Blending Resuscitator. Ia yang saat itu dipercaya sebagai konsultan di USAID, lembaga independen dari Amerika Serikat yang bertanggung jawab untuk bidang ekonomi, pembangunan, dan kemanusiaan untuk negara-negara lain di dunia, kerap menyuarakan pentingnya alat bantu napas bagi bayi yang baru lahir. 

USAID kemudian memfasilitasinya untuk melihat langsung proses pembuatan alat bantu napas bayi di Vietnam. Diproduksi di sebuah rumah tua bekas perang, alat yang diciptakan dengan bahan baku lokal tersebut mampu berfungsi dengan baik. 

Bersama tim ahli dari UI, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM), serta PT Fyrom Internasional, Rinawati mulai mengembangkan inovasi ini pada 2013. Proses pengembangan dan uji coba berlangsung beberapa tahun. Dalam pengembangannya, Rinawati juga dibantu oleh para mahasiswa program sarjana dan program pascasarjana dari berbagai kampus terkemuka di Indonesia. 

Perempuan yang meraih penghargaan ASN Inspiratif pada ajang Aparatur Sipil Negara 2021 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia ini mengatakan, sebelum diujicobakan pada pasien, alat ini terlebih dahulu diujicobakan pada boneka. Menggunakan 80 persen bahan baku lokal, inovasi ini berhasil meraih hak paten pada 2018. 

Inovasi alat bantu napas ini terletak pada baterai “rechargeable” yang berfungsi sebagai kompresor yang memungkinkan penggunanya mengatur proporsi pemberian udara tekan dalam rentang 21-100 persen saat dicampur dengan oksigen murni. Alat ini dirancang dengan ukuran yang mudah dibawa dan mudah digunakan.

“Bayi baru lahir apalagi bayi prematur sangat sensitif terhadap oksigen murni. Oksigen murni dapat merusak retina bayi prematur sehingga mengalami kebutaan. Selain itu, oksigen murni juga dapat merusak paru, otak, dan lain-lain,” ucap Rinawati. 

Lebih jauh Rinawati menjelaskan, Mix Safe Transport Infant Blending Resuscitator telah digunakan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di seluruh DKI Jakarta. Inovasi ini juga telah digunakan hampir di seluruh pelosok Indonesia dan diakui sebagai alat bantu napas bayi baru lahir berstandar internasional.  

Kendati telah digunakan secara luas hampir di seluruh wilayah Indonesia, pengembangan inovasi ini tak berhenti dilakukan. Untuk dapat menyasar pangsa pasar yang lebih luas lagi, terutama kebutuhan pasar luar negeri, Rinawati bersama para koleganya terus mengembangkan alat ini. Adapun pengembangan yang akan dilakukan ialah menghadirkan tipe otomatis dan fitur penghangat serta pelembab udara. Fitur tambahan ini sangat penting sebab gas yang dipakai bersifat kering dan dingin. Melalui fitur ini gas yang dialirkan ke bayi menjadi hangat dan lembab.

Melahirkan Inovasi Sesuai Kebutuhan

Hadirnya Mix Safe Transport Infant Blending Resuscitator diharapkan memantik lahirnya inovasi-inovasi baru di bidang kesehatan. Menurutnya, saat ini Indonesia masih membutuhkan banyak inovasi baru alat kesehatan. Rinawati optimis bahwa anak muda Indonesia mampu menciptakan inovasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hanya saja, dalam menciptakan inovasi, inovator sebaiknya tidak bekerja sendirian, melainkan berkolaborasi dan terjun langsung untuk mendatangi user

Rinawati mengisahkan bagaimana sebuah perusahaan besar asal Jepang mendatanginya dan meminta izin untuk melihat unit tempatnya bekerja. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh perwakilan dari perusahaan tersebut ditemukan bahwa empeng untuk bayi prematur kecil dan pompa asi untuk ibu menyusui masih belum beragam. Tiga bulan kemudian mereka datang membawa beberapa tipe empeng bayi prematur dan pompa asi. Inovasi yang mereka tawarkan ini diciptakan berdasarkan pengamatan sehingga dapat menjawab kebutuhan masyarakat. 

“Inovasi yang kita ciptakan harus menjawab kebutuhan user, bukan berdasarkan kebutuhan pabrik. Untuk itu kita perlu lebih aktif terjun ke lapangan, berdiskusi, dan mendengarkan kebutuhan user,” ucap Rinawati.

Bagikan artikel ini

Artikel lainnya