RFRPLA: Inovasi Pre-impregnasi Komposit Alam Pertama di Indonesia untuk Industri Manufaktur

Komposit alam yang dikembangkannya dapat berperan dalam mendukung berbagai kebutuhan industri di Tanah Air. Inovasi ini dapat digunakan untuk komponen pada mobil, kereta api, pesawat, hingga roket. 

Perkembangan industri pertahanan, penerbangan, dan otomotif mendorong peningkatan kebutuhan Pre-Impregnated (Prepreg). Berdasarkan data yang dirilis oleh Universal Data Solution, perusahaan yang  bergerak di bidang riset pasar global, kebutuhan akan prepreg di pasar global diproyeksikan meningkat sekitar 11 persen pada periode 2022-2028. 

Prepreg atau bahan komposit setengah jadi yang beredar di pasaran saat ini umumnya menggunakan serat sintetik seperti carbon, glass, dan kevlar dan menggunakan matriks berbasis epoxy/plastik berasal dari petrol. Guna menjawab kebutuhan komoditi pasar prepeg sekaligus menjaga kelestarian lingkungan, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FT UI) Prof. Dr. Ir. Tresna Priyana Soemardi, S.E., M.Si., IPU ASEAN-Eng, mengembangkan material prepeg ramah lingkungan yang diberi nama Ramie fiber-reinforced PolyLatctic-acid (RFRPLA). 

Dikembangkan di Laboratorium Perancangan Mekanikal, Biomekanik dan Sub-Lab Komposit FT UI, Pre-impregnasi RFRPLA merupakan inovasi komposit pertama di Tanah Air yang memanfaatkan serat rami sebagai bahan baku utamanya. Dalam menciptakan komposit ramah lingkungan ini, Tresna berkolaborasi dengan Laboratorium Komposit Université Paris Nanterre, IUT de Ville d’Avray, Prancis. 

Guru Besar bidang Perancangan Mekanikal, Konstruksi dan Applied Mechanics for Composite Materials, ini menuturkan, komposit merupakan kemajuan material di bidang pertahanan dan aeronautics karena selain ringan, material ini dapat direkayasa sesuai dengan keinginan. Disebut komposit karena material ini menggabungkan dua material atau lebih untuk mencapai suatu kekuatan tertentu atau performance tertentu.

“Rekayasa dari komposit ini begitu luas baik dari segi bentuk maupun karakteristiknya. Salah satu fokus kami di laboratorium ini mengembangkan penelitian yang bergerak ke green komposit,” ucap Tresna. 

Tresna menambahkan, penelitian green komposit yang dimulai sejak 2000, ini didasari pertimbangan bahwa komposit sintetik dan epoxy tidak mudah terurai. Seperti halnya plastik yang tidak mudah terurai dan menyebabkan masalah pada lingkungan, komposit sintetik dan epoxy berpotensi menjadi masalah baru bagi lingkungan. Berbeda dengan komposit sintetik, komposit berbahan alami seperti serat rami, pisang, jagung, dan bambu ini dapat terurai dalam 40 hari. 

Pengembangan green komposit juga menjadi langkah penting dalam menyikapi dan menghadapi masa depan. Perubahan iklim yang tengah terjadi perlu ditanggulangi dengan baik. Di masa depan, mungkin akan lahir berbagai kebijakan seperti keharusan menciptakan produk dengan emisi rendah dan produk yang tidak lagi digunakan dapat dinetralkan atau terurai sehingga tidak mencemari lingkungan. 

“Kami upayakan kembali ke alam. Ketika tidak lagi digunakan dan dibuang ke alam pun tidak berbahaya sebab material ini dapat terurai. Bahkan, ketika dimakan oleh ikan tidak menimbulkan masalah,” ujar Tresna. 

Pria yang telah mengabdikan diri di UI sejak 1985 ini menambahkan, pada tahap uji dengan beban multiaxial, purwarupa komposit alam ini menunjukkan hasil yang memuaskan dengan kekuatan sebesar 60-80 megapascal (MPa) pada arah lusi 0° dan 20-40 MPa pada arah pakan 90°. Menurutnya, tidak terdapat perbedaan signifikan antara serat rami impor dengan serat rami lokal. Uji coba yang dilakukannya ini merupakan bagian dari usaha untuk menciptakan Prepreg RFRPLA dengan proses manufaktur yang optimal, yakni kemudahan proses produksi dalam skala industri.

Dari Mobil, Pesawat, hingga Roket

Berawal dari pengembangan green komposit, sejumlah inovasi berhasil diciptakan para inovator di Lab Perancangan Mekanikal, Biomekanik dan Sub-Lab Komposit UI, salah satunya inovasi rancangan Herry Purnomo. Di bawah bimbingan Tresna, mahasiswa S3 UI ini, tengah mengembangkan komposit untuk interior roket. Menciptakan material yang ringan, tahan panas, dan mempunyai kekuatan tinggi untuk kebutuhan roket ini memang menjadi sesuatu yang sangat menantang. Namun jika bisa diaplikasikan, jangkauan tembak roket akan semakin jauh. 

Inovasi lain yang turut dikembangkan ialah komposit untuk pintu kereta api. Seperti diketahui, Lintas Raya Terpadu (LRT) sempat mengalami gangguan tepat sehari setelah diresmikan. Beratnya bobot pintu kereta LRT menyebabkan transportasi publik ini tidak dapat beroperasi optimal sehingga perlu diganti dengan pintu yang lebih ringan. Pengembangan produk ini dapat menjadi solusi bagi masalah ini. Di masa depan, produk ini akan dikembangkan untuk pintu pesawat. 

“Kami diundang oleh PT Industri Kereta Api (INKA) untuk mengembangkan body pintu kereta api yang lebih ringan menggunakan RFRPLA ini. Nantinya produk akan dibuat dengan fabrikasi yang advance,” ujar Tresna. 

Para inovator di laboratorium FT UI ini juga tengah mengembangkan komposit alami untuk kebutuhan unmaned air vehicle. Pada tahap pertama, material yang sedang dikembangkan ini diperuntukkan untuk lapisan (skin) sayap pesawat tanpa awak. Secara bertahap, inovasi ini terus dikembangkan sehingga bisa digunakan untuk body dan interior pesawat tanpa awak. 

Lebih jauh Tresna menjelaskan, penggunaan komposit pada pesawat terbang memang dilakukan secara bertahap, mulai dari sayap, nose, hingga kemudian body pesawat. Seperti Airbus A380 Double Decker, komposit awalnya digunakan pada sayap pesawat. Saat ini 80 persen bagian pesawat Airbus A380 sudah menggunakan komposit.

Berbeda dengan logam dan aluminium, lanjut Tresna, komposit memiliki daya tahan yang lebih kuat dalam menghadapi kerusakan. Saat terjadi badai yang menyebabkan retaknya logam atau aluminium pada body pesawat, maka kerusakan tersebut akan menjalar dengan cepat. Namun jika menggunakan komposit alam, saat serat komposit putus, maka beban akan berpindah pada serat-serat yang lebih kecil sehingga pesawat masih dapat terbang dengan baik. 

“Meskipun terdapat keretakan, pesawat terbang masih akan tetap diizinkan terbang beberapa ribu jam lagi karena memang terbukti aman,” ucap Tresna. 

Mandiri Secara Teknologi

Lebih jauh Tresna menjelaskan, penelitian mengenai material ini masih tergolong jarang sehingga sulit memenuhi kebutuhan penelitian baik dari segi peralatan maupun sumber daya manusia. Di Indonesia, UI melalui Laboratorium Perancangan Mekanikal, Biomekanik dan Sub-Lab Komposit, menjadi satu-satunya laboratorium yang berfokus menciptakan produk manufaktur dari komposit alam. 

Padahal, dengan sumber daya alam yang lengkap dan memiliki serat-serat unggul, Indonesia memiliki potensi untuk membangun atau merekayasa material komposit alam. Beragam inovasi yang berhasil diciptakan oleh UI membuktikan Indonesia sebetulnya dapat menjadi pemain besar untuk menciptakan berbagai produk dari green komposit. Sayangnya, pengembangan produk green komposit ini belum banyak dilirik oleh industri dan investor. 

Menurut Tresna, diperlukan jiwa pionir dari investor atau pengusaha untuk mewujudkan hal tersebut. Banyak investor atau pengusaha di Indonesia saat ini hanya bergerak sebagai trader saja. Mereka lebih memilih untuk membeli dan menjual produk dari luar negeri ketimbang membangun industri RFRPLA di dalam negeri. 

“Saya sampaikan bahwa kami bisa membuat beragam inovasi. Kami bisa membuat sendi lutut berbahan RFRPLA ini. Namun siapa yang mau menggelontorkan uang untuk membuat produk tersebut. Jika terus seperti ini, kapan kita akan mencapai kemandirian teknologi?” ucap Tresna. 

Jika Indonesia ingin menjadi bangsa yang mandiri secara teknologi, maka perlu dukungan dari seluruh pihak. Ia meyakini bahwa masyarakat Indonesia sebetulnya tak kalah dalam berimajinasi. Masyarakat Indonesia memiliki kompetensi untuk mengembangkan imajinasinya sehingga menjadi produk inovasi yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan. 

Bagikan artikel ini

Artikel lainnya