Prof. Dra. Fatma Lestari, M.Si., Ph.D. : Dedikasi untuk Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Tanah Air

Sumbangsihnya dalam bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Tanah Air sudah tak diragukan lagi. Selama puluhan tahun mendedikasikan diri untuk pendidikan, penelitian, dan pelatihan K3 di Indonesia.

Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) merupakan kebutuhan setiap orang. Implementasi K3 tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, industri, dan institusi, melainkan kesadaran yang harus dimiliki setiap individu. Kesehatan dan keselamatan merupakan hak paling dasar setiap manusia. Hak tersebut harus dipenuhi dan menjadi kebutuhan bagi setiap orang.

Meningkatkan kesadaran K3 sehingga menjadi budaya yang dipahami dan dijalankan oleh masyarakat Indonesia tak henti dilakukan oleh Prof. Dra. Fatma Lestari, M.Si., Ph.D. Lebih dari 25 tahun Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) ini mendedikasikan dirinya dalam pendidikan, penelitian, pelatihan, serta menghasilkan karya terkait K3 untuk Indonesia.

Kiprah perempuan kelahiran Jakarta ini pada bidang K3 di Tanah Air bermula dari keputusannya menempuh pendidikan program Pascasarjana di Departemen Kimia, FMIPA Universitas Indonesia. Sempat bekerja di industri oleochemicals sebagai staf research and development setelah menamatkan pendidikan S1 Program Studi Kimia di FMIPA UI, ia memutuskan melanjutkan pendidikan S2 di UI. Di program pascasarjana inilah Fatma diminta mengajar kimia dan biokimia, mata kuliah wajib di FKM UI. Ia juga dipercaya menjadi asisten dosen di Laboratorium Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja.

“Saya kemudian diberi tanggung jawab mengampu mata kuliah terkait K3. Saat ini saya mengajar 10 mata kuliah, seperti Kebakaran dan Ledakan, Bahaya Bahan Kimia, Bencana dan Manajemen Darurat, dan Toksikologi Industri. Saya mengajar program sarjana, pascasarjana, dan program Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ),”
ujar Fatma.

Selain aktif mengajar, Fatma yang meraih penghargaan WSO Professional Concerned Award dari World Safety Organization (WSO), ini juga mengampu tanggung jawab sebagai ketua Disaster Risk Reduction Center Universitas Indonesia (DRRC UI). Unit kerja yang berfokus pada mitigasi risiko bencana nonalam ini membantu pemerintah, intistusi, dan organisasi dalam mengurangi dampak risiko yang disebabkan oleh bencana nonalam maupun gabungan dari bencana nonalam dan alam.

“Tahun lalu kami bekerja sama dengan Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta untuk melakukan fire mapping hingga tingkat RW sehingga DKI Jakarta saat ini memiliki peta wilayah mana saja yang rawan terjadi kebakaran,” tutur Fatma.

Lebih jauh Fatma menerangkan, DRRC UI saat ini juga diminta oleh Pemerintah DIY Yogyakarta untuk melakukan fire mapping. Menurutnya, sebagai wilayah yang memiliki banyak cultural heritage seperti keraton yang bangunannya didominasi oleh kayu, diperlukan sistem proteksi khusus. Selain itu, Fatma juga pernah membantu Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dalam merancang sistem proteksi sebagai mitigasi kebakaran agar kebakaran yang menghanguskan rumah gadang tidak terjadi lagi.

Merancang Program K3 Nasional

Perempuan yang meraih gelar S3 bidang Safety Science dari University of New South Wales (UNSW), Sydney, Australia, ini juga dipercaya mengampu tanggung jawab sebagai Wakil Ketua Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N). Sebagai Wakil Ketua DK3N, ia memimpin working group dari seluruh stakeholder untuk menyusun Program K3 Nasional.

Program prioritas dalam Program K3 Nasional antara lain promosi budaya K3 di Indonesia, penegakan norma dan hukum K3, peningkatan kapasitas sumber daya manusia terkait K3, memperkuat kolaborasi dan koordinasi, serta sinergi K3 di Tanah Air, dan integrasi data dan informasi K3.

“Program K3 Nasional ini merupakan panduan K3 yang akan diimplementasikan di Indonesia. Ini salah satu tugas besar dan menantang. Alhamdulillah bisa diselesaikan dengan baik,” kata Fatma.

Perempuan yang gemar memasak dan merangkai bunga ini mengatakan, kesadaran pekerja akan K3 sangat bervariasi. Bahkan budaya K3 masyarakat Indonesia masih terbilang rendah. Di negara-negara maju, edukasi mengenai K3 sudah diajarkan sejak usia dini. Salah satu strategi awal menjadikan K3 sebagai budaya harus dilakukan melalui regulasi, seperti yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia (PT KAI).

“KAI memang hanya bagian kecil dari Indonesia, tapi membuktikan transformasi K3 dapat dilakukan dan mendatangkan keuntungan. Kalau Indonesia mampu mengimplementasikan K3 dengan baik, maka negara ini akan lebih maju,” kata Fatma.

Bagikan artikel ini

Artikel lainnya