Prof. dra. Evi Fitriani, M.A., Ph.D. : Melihat Indonesia dari Perspektif Ilmu Hubungan Internasional

Tak pernah bercita-cita menjadi pengajar, namu ternyata ia sangat menikmati perannya sebagai dosen sekaligus peneliti hubungan internasional di Universitas Indonesia. 

Ilmu Hubungan Internasional di mata perempuan yang kala itu duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) seperti pintu yang membuka cakrawala ilmu pengetahuan. Ia yang menyukai sejarah dan politik sejak duduk di Sekolah Dasar (SD), serta pernah bercita-cita untuk melanjutkan pendidikan ilmu politik di perguruan tinggi, kerap bertanya bagaimana negara-negara di dunia bisa bekerja sama atau berperang. Pengetahuan akan disiplin ilmu ini membuatnya menemukan tujuan baru dalam hidupnya.

Perkenalannya dengan ilmu hubungan internasional di bangku SMA membuat perempuan bernama Prof. dra. Evi Fitriani, M.A., Ph.D., memiliki tekad untuk menempuh pendidikan hubungan internasional di perguruan tinggi. Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) menjadi tempat baginya untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

“Selain senang sejarah dan politik, saya suka travelling. Jadi, hubungan internasional ini sangat cocok untuk saya karena outlooking-nya tidak hanya Indonesia, tetapi juga internasional. Oleh karena itu saya sangat menikmati perkuliahan karena memang ini yang saya cari,” ujar Evi.

Menamatkan pendidikan di UI dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tertinggi di angkatannya, Guru Besar Perempuan Pertama Ilmu Hubungan Internasional di Indonesia ini kemudian melanjutkan studi magister bidang Southeast Asian Studies di Ohio University, Amerika Serikat dan Modern International Studies di University of Leeds, Inggris. Sementara pendidikan doktor pada bidang Political Science and International Relations diraihnya di Australian National University, Australia.

Evi sendiri mengaku tidak pernah bercita-cita menjadi pengajar. Cita-citanya ialah bekerja sebagai international civil servant di organisasi dunia. Ia membayangkan dirinya dapat bekerja di wilayah-wilayah konflik atau mengatasi permasalahan pengungsi di berbagai belahan dunia, seusai menamatkan pendidikan magisternya di Amerika Serikat. Namun demikian, yang terjadi justru ia tergerak melangkahkan kakinya pulang ke Tanah Airnya untuk kemudian menjadi dosen di Universitas Indonesia.

“Saya terngiang-ngiang perkataan Profesor Juwono Sudarsono sebelum saya menempuh pendidikan S2 di luar negeri. Beliau mengatakan, ‘Evi, pulang ya.’ Beliau merupakan sosok yang menginspirasi saya bahwa share ilmu pengetahuan secara terstruktur dalam bentuk pengajaran itu menyenangkan. Pada dasarnya saya suka berbagi ilmu,” kata Evi.

Indonesia Krisis Moral dan Karakter

Aktif memberi kuliah di berbagai universitas dan institusi di sejumlah negara, perempuan yang semasa kuliah di UI aktif di organisasi Resimen Mahasiswa ini mengatakan, Indonesia yang memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia sebetulnya memiliki potensi menjadi negara terpandang di dalam kancah global. Hanya saja, sebagai sebuah negara, kelembagaan di Indonesia belum terbangun dengan baik. Tarik-menarik kepentingan antarkelompok yang menjadikan governance Indonesia tidak terbangun dengan baik inilah yang menjadi persoalan mendasar bagi Indonesia.

Pada masa kemerdekaan, tarik-menarik kepentingan masih didorong oleh idealisme untuk membawa masyarakat Indonesia menuju sejahtera. Yang berbeda dengan hari ini, tarik-menarik kepentingan bertujuan menguntungkan pihak tertentu saja sehingga keputusan atau kebijakan yang ditempuh hanya untuk kepentingan bisnis atau keuntungan kelompok tertentu saja.

Tidak terbangunnya sistem kelembagaan yang kuat juga membuat proses diplomasi Indonesia hanya mengandalkan figur saja. Hubungan dengan negara-negara lain seringkali bersandar pada kompetensi dan kapabilitas personal. Ketika para tokoh yang kemampuannya diakui oleh negara-negara lain ini tidak lagi menjabat, kekuatan Indonesia di kancah global seketika melemah karena pandangan mereka langsung tertuju pada lemahnya sistem kelembagaan di negara ini.

“Lihat saja bagaimana kebijakan yang dikeluarkan oleh institusi pemerintah berubah seiring dengan berganti pemimpinnya. Padahal, namanya peraturan harusnya tetap dan tidak berubah-ubah kecuali karena perubahan situasi maka disesuaikan untuk kepentingan rakyat atau negara. Krisis moral dan karakter ini yang menjadi masalah negara kita. Para pemimpin dan elit harusnya menjadi suri tauladan yang punya kredibilitas dan memiliki kualitas kenegarawanan yang baik,”ujar Evi

Lebih jauh, wanita yang ikut mendirikan ASEAN Study Center (ASC UI) dan menjadi Country Coordinator bagi Indonesia dalam Network of East Asia Think Tank (NEAT) yang merupakan track dua dalam ASEAN plus Three (ASEAN plus China, Jepang dan Korea) ini mengatakan, agar posisi Indonesia dapat lebih baik dalam lanskap hubungan internasional, negara ini harus membenahi persoalan mendasar tersebut. Selain itu, bangsa ini juga perlu membangun sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk kemajuan Indonesia. Tanpa SDM yang unggul, sumber daya yang dimiliki Indonesia pada akhirnya menjadi kurang produktif dan bernilai rendah.

Penguasaan teknologi, misalnya, hanya bisa dikuasai jika bangsa ini memiliki SDM yang kompeten. Selain itu posisi-posisi strategis terkait pengembangan teknologi ini harus dipimpin oleh orang yang menguasai bidang tersebut. Bagaimana sebuah kebijakan dapat memajukan teknologi, memajukan industri di Indonesia, jika pemimpinnya tidak menguasai masalah tersebut.

“Oleh karena itu, pemimpin hingga aparatur pemerintahan harus diisi oleh orang-orang yang kredibel, yang memang bekerja untuk kemajuan negara, bukan kepentingan diri dan kelompoknya,” ucap Evi.

Bagikan artikel ini

Artikel lainnya