Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K)., M.A.R.S., DTM&H., DTCE., FISR. : Memandu Masyarakat Melewati Tantangan Pandemi

Kiprah Guru Besar Pulmonologi Universitas Indonesia ini di bidang kesehatan cukup beragam. Mulai dari Dirjen di Kementerian Kesehatan hingga Director of Infectious South East Asia Regional Office WHO. 

Kepeduliannya pada bidang kesehatan ia tuangkan dalam tulisan di berbagai media massa. Keinginan berpartisipasi menjelaskan isu Covid-19 yang kala itu masih menjadi perdebatan di tengah masyarakat mendorongnya menulis sebanyak 254 artikel di berbagai media massa. Berkat kegigihannya tersebut ia meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai Penulis Artikel tentang COVID-19 Terbanyak di Media Massa. 

“Sejak tulisan pertama saya mengenai insomnia dimuat di koran Kompas pada 1980, sejak itu saya kerap menulis untuk berbagai media. Aktivitas itu saya lakukan hingga sekarang,” ucap Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K), M.A.R.S., DTM&H., DTCE., FISR. 

Tulisan tersebut merupakan pengalamannya ketika melihat masalah gangguan tidur yang dialami oleh ibunya. Ditulis ketika menjalani kedinasan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Provinsi Riau, tulisan tersebut menjadi pemantik baginya untuk menulis berbagai isu kesehatan menggunakan bahasa sederhana sehingga mudah dimengerti oleh pembaca.  

Menamatkan pendidikan dokter umum di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) pada 1980, ia memilih  Riau sebagai tempat pengabdian pertamanya. Pada saat itu Pemerintah Indonesia memang menetapkan peraturan bagi dokter yang ingin melanjutkan pendidikan harus melakukan pengabdian di pelosok daerah. Sebagai anak tunggal yang tumbuh dan besar di Jakarta, keputusan untuk mengabdikan diri di daerah pelosok menjadi tantangan baginya. 

“Ini pengalaman baru bagi saya tinggal di daerah pelosok. Saya yang tidak bisa memecahkan telur dan mengupas mangga harus mengabdikan diri jauh dari keluarga. Namun, saya dan istri mampu menjalani tugas tersebut dengan baik. Bahkan ditetapkan sebagai Dokter Puskesmas Teladan se-Provinsi Riau,” ujar Tjandra. 

Setelah tiga tahun menjalani kedinasan, Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UI ini melanjutkan pendidikan spesialis Pulmonologi di FK UI. Menurutnya tidak ada alasan ilmiah kenapa ia memutuskan mengambil spesialis paru-paru. Selain menyenangi bidang ilmu paru-paru, Rumah Sakit Persahabatan sebagai rumah sakit pendidikan spesialis paru-paru masih begitu asri dan belum seramai Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. 

Selain menempuh pendidikan spesialis Pulmonologi, Tjandra juga menempuh pendidikan diploma di Research Institute of Tuberculosis, Tokyo, dan menamatkan pendidikan diploma Tropical Medicine and Hygiene (DTM&H) di London School of Hygiene and Tropical Medicine, Inggris, pada 1994. Pada 1998, ia juga berhasil merampungkan pendidikan Magister Ilmu Administrasi Rumah Sakit di FKM UI. 

Menemukan Hobi di Usia Senja 

Selain aktif praktik dan mengajar, pria kelahiran Jakarta, 3 September 1955, ini mengisi berbagai posisi strategis di dalam pemerintahan. Pada 2007, Tjandra ditunjuk sebagai Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Dua tahun berselang, ia kemudian dipercaya sebagai Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 

Kiprah pria yang meraih gelar kehormatan Adjunct Professor in the Centre for Environment and Population Health dari Griffith University, di bidang kesehatan ini tak hanya di Tanah Air. Pada 2015, ia ditunjuk sebagai Regional Coordinator, World Health Emergency, World Health Organization (WHO), South East Asia Regional Office (SEARO). Ia mengakhiri kariernya di SEARO sebagai Director of Infectious Diseases pada 2019. 

Menjalani pekerjaan di SEARO mengharuskannya menetap sendiri di India. Di negara Anak Benua inilah ia menemukan hobi baru, yakni berjalan kaki sebanyak 10 ribu langkah. Aktivitas ini ia lakukan di dalam pusat perbelanjaan. Menurutnya, hal ini lazim dilakukan banyak orang sebab tingkat polusi udara di negara tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia. 

Memasuki usia senja, pria yang kini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi ini mulai menekuni hobi bersepeda. Di sela-sela kegiatannya yang kerap mengharuskannya bepergian dari satu daerah ke daerah lain, termasuk perjalanan ke luar negeri untuk mengikuti konferensi, ia mengisi waktu liburnya dengan bersepeda sejauh 30 kilometer. 

“Saya nyaris tidak punya hobi khusus. Sejak pensiun saya seminggu sekali bersepeda dan berjalan kaki di sekitar rumah, serta berjalan kaki 10 ribu langkah seminggu sekali,” ujar Tjandra.

Bagikan artikel ini

Artikel lainnya