Prof. Dr.-Ing. Nandy Setiadi Djaya Putra “We Are the Yellow Jacket Family”

Kiprahnya sebagai pengajar sekaligus peneliti membawanya meraih Satya Lencana Karya Satya 10 thn pada tahun 2006. Dinobatkan sebagai peneliti paling berpengaruh di dunia, World’s Top 2% Scientists 2022.

Keluarga Universitas Indonesia demikian kalimat yang nampaknya sesuai untuk disematkan kepada Prof. Dr.-Ing. Nandy Setiadi Djaya Putra. Bagaimana tidak, Guru Besar di Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Indonesia ini memiliki keluarga yang seluruhnya menempuh pendidikan di Universitas Indonesia. Istri dari pria kelahiran Palembang 25 Oktober 1970, ini merupakan lulusan Spesialisasi Farmakologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bahkan keempat anaknya pun menemuh pendidikan tingginya di kampus ini.

Meraih gelar sarjana Teknik Mesin dari FT UI dengan tugas akhir berjudul Design and Testing of Aerofilt pada 1994, professor yang akrab disapa Nandy ini menyelesaikan jenjang doktoral bidang Heat Transfer di Universitaet der Bundeswehr Hamburg, Jerman, pada 2002, dengan judul disertasi Heat transfer in dispersed material.

Dikukuhkan sebagai Guru Besar pada usia yang belum genap 40 tahun, kariernya sebagai pengajar dimulai sejak 1995. Pria yang kerap tampil dengan potongan rambut yang panjang ini aktif mengajar beberapa mata kuliah di Departemen Teknik Mesin antara lain, Heat Transfer, Alat Penukar Kalor, Perancangan Mekanika, Pengukuran dan Metrologi, Perpindahan Kalor dan Massa, dan Mesin Konversi Energi.

 

Sosok di Balik Smart Building FTUI

Selain aktif mengajar, sejumlah posisi pernah diembannya, seperti Kepala Laboratorium Perpindahan Kalor FTUI, Wakil Ketua Departemen bidang Non Akademik, Manajer Umum FTUI, Kepala Badan Perencanaan, Pengembangan, dan Pengendalian Universitas Indonesia, Direktur Direktorat Logistik dan Sarana Distribusi Univesitas Indonesia, hingga Wakil Dekan Bidang sumber Daya, Ventura, dan Administrasi Umum FTUI. Salah tugas yang diembannya sebagai Wakil Dekan Nonakademik ialah merealisasikan Smart Building yang dikenal dengan i-CeLL.

i-CeLL merupakan akronim dari Integrated Creative Engineering Learning Lab, gedung laboratorium terintegrasi yang dirancang dengan teknologi smart and green building yang ramah lingkungan dan efisien di dalam pengelolaan energi pencahayaan, sirkulasi udara, serta menerapkan teknologi water harvesting. Terdiri dari delapan lantai dan satu rooftop, gedung ini berdiri di area seluas 8.410 meter persegi.

Hadirnya smart building i-Cell ini menjadi salah satu upaya FTUI menjawab tantangan di bidang sains dan teknologi, terutama dalam meningkatkan jumlah dan kualitas riset. Selain itu, gedung pintar ini juga menjadi langkah FTUI mengambil peran untuk mewujudkan UI sebagai World Class Research University.

“i-Cell merupakan gabungan dari laboratorium-laboratorium teaching yang ada di departemen FTUI. Integrasi lab-lab teaching ini bisa dimanfaatkan menjadi lab research. Hadirnya i-Cell sejalan dengan tingginya minat dosen dalam melakukan riset. Space inilah yang nantinya dimanfaatkan para dosen untuk melakukan penelitiannya,” terang Nandy sebagaimana dikutif dari ProfCast by FTUI.

Pria yang mengampu jabatan sebagai kepala proyek pembangunan gedung i-CELL ini menambahkan, hadirnya smart building ini menjadi jawaban FTUI untuk mempersiapkan tantangan kurikulum yang berubah dengan adanya capstone design dan prototyping. Selain itu, hadirnya i-CELL juga membantu mahasiswa untuk menciptakan sesuatu yang bisa dihilirisasi. Untuk mewujudkan tersebut, gedung ini dilengkapi teknologi computing, design creative, hingga prototyping. Bahkan di lantai satunya terdapat 3D printing dari metal.

 

Inovasi untuk Negeri

Hilirisasi penelitian yang dilakukan oleh Nandy salah satunya ialah Vaccine Carrier. Inovasi boks untuk membawa vaksin ini dirancang untuk mencengah tingkat kerusakan vaksin pada saat distribusi. Penelitian boks vaksin ini sebetulnya dilakukan sejak 2006. Inovasi ini awalnya digunakan untuk vaksinasi polio yang digalakkan pemerintah untuk menjangkau vaksinasi di seluruh pelosok Tanah Air.

Distribusi vaksin ke pelosok negeri bukan perkara mudah. Beragam cara seperti menggunakan boks berisi es maupun mangkuk yang diberi es digunakan untuk menjaga vaksin agar tidak rusak. Cara ini terbilang konvensional dan berisiko tinggi. Ketika es mencair sementara jarak yang ditempuh masih jauh akan membuat suhu di dalam boks menjadi tidak terkontrol. Peningkatan suhu di dalam boks berpotensi merusak kualitas vaksin.

Menurut lulusan SMA Negeri 1 Budi Utomo Jakarta ini, kunci boks vaksin rancangannya terdapat pada heat pipe (pipa hangat). Pipa seukuran pensil yang dilengkapi elemen menyerupai sisir yang terbuat dari alumunium inilah yang menjadi keunggulan vaccine carrier-nya dibandingkan dengan produk yang telah ada di pasaran. Selain dimanfaatkan untuk distribusi vaksin, vaccine carrier ini dapat digunakan untuk membawa sampel darah, air liur, hingga serum bisa ular.

Bagikan artikel ini

Artikel lainnya