Persoalan Kesehatan Tidak Bisa Menunggu

Tren pencemaran udara akan terus meningkat bila pembenahan tidak dilakukan secara radikal.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan polusi udara menjadi faktor risiko keempat penyebab kematian dini di seluruh dunia. Berdasarkan pedoman Kualitas Udara Global (AQG), WHO memaparkan bahwa polusi udara memberikan dampak yang sangat buruk bagi kesehatan manusia. Diperkirakan sebanyak tujuh juta kematian dini setiap tahunnya di seluruh dunia disebabkan oleh paparan polusi udara. 

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof. Dr. Budi Haryanto, SKM, M.Kes., M.Sc., mengatakan, persoalan buruknya kualitas udara di kota-kota besar di Indonesia sudah terjadi sejak lama. Berdasarkan hasil penelitian tentang polusi udara bersumber kendaraan bermotor yang dilakukannya bersama United Nations Environment Programme (UNEP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia pada 2010, sebanyak 57,8 persen penyakit disebabkan oleh polusi udara. Penelitian ini menggunakan data medical record pasien rawat jalan dan rawat inap dari rumah sakit. 

“Sudah sejak lama kita suffering. Beberapa tahun lalu banyak yang tidak menyadari bahwa udara yang dihirup sehari-hari merupakan udara yang kotor. Udara kotor ini menyebabkan gangguan kesehatan, mulai dari batuk, gangguan fungsi paru-paru, asma, pneumonia, hingga meningkatnya pasien stroke, dan gangguan jantung,” ujar Budi. 

Budi menambahkan, parameter pencemar udara terus naik dari tahun ke tahun. Diprediksikan pada 2030 nanti polusi udara akan meningkat 50 hingga 60 persen dari sekarang. Data ini diperoleh melalui peneltian yang dilakukannya di Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia selama empat tahun, 2013-2017. Penelitian ini menggunakan data kendaraan bermotor dari Gaikindo dan konsumsi bahan bakar dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia sejak 1990-2013, yang dimasukkan ke dalam modeling dari The international Institute for Applied Systems Analysis. 

“Kalau kita tidak melakukan gerakan, melakukan pembenahan pada sumber-sumber pencemar udara secara radikal, maka semua parameter pencemar udara trennya akan naik terus dan lebih tinggi 50-60 persen pada 2030 nanti,” ujar Budi mengingatkan. 

Upaya pemerintah untuk mengatasi polusi udara dengan melakukan penyemprotan air, modifikasi cuaca, hingga mengurangi jumlah PLTU sebagai upaya pengendalian emisi, menurut Budi hanya akan memberikan efek sesaat. Selama sumber pencermar udara tidak diatasi, upaya-upaya tersebut tidak menyelesaikan persolan polusi udara ini. 

Pembenahan Harus Dilakukan secara Radikal

Lebih jauh Budi menerangkan, ramainya perbincangan di lini masa terkait baiknya kualitas udara saat pandemi Covid-19, sebetulnya hanya berlangsung beberapa hari. Pembatasan aktivitas dan berkurangnya mobilitas masyarakat memang memberi dampak positif. Namun, di sisi lain hal ini menegaskan bahwa sumber pencemar lokal berasal dari kendaraan bermotor. Menurutnya, beberapa hasil riset menunjukkan bahwa kontribusi terbanyak polusi udara berasal dari transportasi.

Perbaikan kualitas bahan bakar kendaraan, lanjut Budi, bisa menjadi solusi jangka pendek mengatasi polusi udara di Indonesia. Pemerintah juga perlu mendorong agar masyarakat beralih menggunakan bahan bakar dari Pertalite (Ron 90) ke Pertamax (Ron 92). Menurutnya, jika kebijakan ini dapat dilakukan, dalam satu hingga dua tahun kualitas udara di Indonesia akan membaik. 

Pakar Epidemiologi Pencemaran Udara dan Surveilans Kesehatan Lingkungan ini juga menyarankan pemerintah menempatkan sensor udara di perempatan-perempatan jalan utama. Ketika sensor telah menujukkan warna merah, pemerintah harus merekayasa lalu lintas dengan mengalihkan kendaraan untuk melewati jalan lain. Pengaturan lalu lintas ini penting karena kecepatan di bawah 30 km per jam dan di atas 110 km per jam akan mengemisikan polutan.

“Pemerintah harus menyediakan jalan yang memungkinkan kendaraan berjalan di atas 30 km per jam. Jadi tidak boleh ada macet. Cara seperti ini sudah dilakukan oleh banyak negara,” kata Budi.

Kepada masyarakat, ia menyarakan agar memantau informasi mengenai polusi udara secara realtime. Berbekal informasi ini masyarakat dapat melihat wilayah yang mengalami polusi udara yang tinggi sehingga bisa bergegas meninggalkan wilayah tersebut. Penggunaan masker KN95 juga membantu dalam menyaring 95 persen sumber polusi.

“Saat polusi udara sedang tinggi, tutup jendela rumah. Gunakan pendingan udara atau air purifier. Kita juga bisa berkontribusi dengan menanam pohon,” ucap Budi.

Bagikan artikel ini

Artikel lainnya