Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di lingkungan pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia per 6 Juli 2023, sebanyak 65 kasus kekerasan terjadi di perguruan tinggi. Kekerasan seksual paling banyak dilakukan oleh dosen atau sesama mahasiswa.
Sinyalemen Kemendikbudristek tidak berlebihan dan memang faktual. Perguruan tinggi merupakan sebuah komunitas skala besar dengan kebebasan yang juga relatif besar untuk beraktivitas di dalam lingkungannya. Terlebih lagi, perguruan tinggi merupakan sebuah struktur yang memiliki lapis-lapis relasi kuasa yang kompleks. Sebebas-bebasnya seorang mahasiswa menggali kekayaan pengetahuan di perguruan tinggi, nasibnya sebagai mahasiswa tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan para dosennya dalam menguji, menilai, dan menentukan kelulusan.
Demikian juga karier seorang dosen atau tenaga pendidikan sangat dipengaruhi oleh relasi atasan dan bawahan yang tidak selalu bersifat egaliter dalam praktiknya. Dalam kondisi seperti ini, sangat boleh jadi kejadian-kejadian kekerasan seksual lebih banyak yang tidak terungkap atau dipetieskan karena korban tidak memiliki keberanian atau karena perguruan tinggi tidak ingin mendapat nama buruk.
Kewajiban moral untuk mewujudkan lingkungan kampus yang bebas dan aman dari bahaya kekerasan seksual ada pada pundak setiap warganya. Namun, tanggung jawab untuk membuatnya terwujud ada di tangan pimpinan perguruan tinggi. Proses edukasi yang bersifat terus-menerus dan partisipatoris sangat muskil, tetapi harus dilakukan. Segenap warga kampus semestinya diwajibkan menandatangani pakta integritas untuk tidak membiarkan terjadinya kekerasan seksual, tidak melindungi pelaku kekerasan seksual, dan tidak membiarkan diri mereka masing-masing menjadi pelaku atau korban kekerasan seksual.
Hal ini penting untuk meletakkan fondasi bagi pencegahan kekerasan seksual. Tidak ada lagi warga kampus yang bisa menghindar atau lari dari tanggung jawab apabila mereka terlibat dalam perbuatan kekerasan seksual. Sementara, berbagai aturan yang dibuat terkait kekerasan seksual lebih berfungsi sebagai penguat bagi landasan dasar tersebut. Maka, prasyarat yang harus dipenuhi terlebih dulu adalah adanya kesadaran, kepedulian, dan komitmen pimpinan perguruan tinggi bagi pemberantasan kekerasan seksual di kampus.
Penanganan Tepat Kasus Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual di institusi pendidikan tidak bisa ditangani dengan cara-cara penanganan tindak pidana oleh kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Sebelum proses investigasi, korban yang menjadi pelapor perlu dibantu untuk memulihkan kondisi psikologisnya sehingga siap mengikuti keseluruhan proses penanganan hingga tuntas. Kemudian, keamanan dan keselamatan korban harus dilindungi agar tidak diintimidasi, diteror, ditekan, atau bahkan disakiti.
Penanganan kekerasan seksual juga mensyaratkan kehati-hatian dan kepekaan yang ekstra. Seringkali kejadian yang dilaporkan tidak memiliki saksi atau bukti material, dan hanya ada versi kejadian dari sisi korban dan terlapornya. Penanganan kasus wajib memperhatikan perspektif korban (menerima laporan tanpa prasangka atau asumsi, dan memberikan layanan pemulihan), tetapi pada saat yang sama juga harus menjaga asas praduga tak bersalah atas terlapor sampai dia secara meyakinkan terbukti bersalah. Menjaga keseimbangan antara kedua aspek yang tampaknya saling berbenturan ini.
Di Universitas Indonesia, Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) tidak bekerja sendiri dalam segala hal. Satgas PPKS dibantu Fakultas Psikologi dengan menyediakan tenaga konselor untuk melakukan asesmen pada kondisi psikologis korban, membantu proses pemulihan mereka, serta agar mereka dapat move on dengan hidup mereka secara positif. Untuk setiap korban yang didampingi secara psikologis, sesi konseling bisa mencapai 10-12 kali sesi atau bahkan lebih.
Konselor juga membantu Satgas PPKS untuk mengidentifikasi sumber pemicu trauma korban, cara mengubah amarah menjadi energi lebih positif untuk melanjutkan hidup dan mengembangkan diri, serta membantu korban menolong dirinya sendiri untuk menghadapi depresi. Di kala dibutuhkan, perguruan tinggi juga wajib menyediakan semacam safehouse untuk melindungi korban dari tekanan, teror, atau ancaman dari pelaku.
Pemberian Sanksi bagi Pelaku Kekerasan Seksual
Sanksi yang dijatuhkan oleh perguruan tinggi merupakan sanksi yang sifatnya administratif atau akademik. Bentuk sanksinya mulai dari yang paling ringan berupa teguran disertai/tanpa permintaan maaf tertulis kepada korban, teguran keras dengan larangan mendekati atau mengontak korban, sampai skorsing akademik antara 1 sampai 3 semester hingga pemutusan studi.
Pelaporan kasus ke instansi Polri bukan kewenangan Satgas PPKS di perguruan tinggi. Payung hukum yang dipakai dalam penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi adalah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 30 Tahun 2021, sedangkan ranah pidana dipakai undang-undang tindak pidana kekerasan seksual. Namun, apabila korban menghendaki, maka perguruan tinggi wajib memberikan pendampingan kepada korban selama proses pidana berlangsung.
Sudah saatnya kita perlu belajar kembali perbuatan apa saja yang tergolong sebagai tindak kekerasan seksual. Kita perlu belajar dan mengerti dengan baik bagaimana caranya agar tidak menjadi pelaku kekerasan seksual atau agar tidak menjadi korban kekerasan seksual. Lebih baik menghindari risiko daripada harus berhadapan dengan risiko, atau memikul risiko sebagai akibat dari kekerasan seksual.
*Prof. Manneke Budiman, S.S., M.A., Ph.D. merupakan Guru Besar Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Budaya dan Ketua Satgas PPKS Universitas Indonesia. Artikel dibuat berdasarkan wawancara pada Jumat, 8 Maret 2024.