Persoalan polusi udara yang belakangan ramai diperbincangkan masyarakat Indonesia pada dasarnya selalu berhubungan dengan banyak hal, salah satunya kegiatan transportasi, yakni emisi gas buang dari kendaraan. Polusi udara di kota-kota besar cenderung tinggi karena kegiatan transportasinya yang banyak menggunakan kendaraan pribadi dan berbahan bakar fosil. Saya belum bisa membuktikannya melalui data, tetapi kegiatan transportasi pasti menyumbang polusi, terutama di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Mengapa Jakarta?
Jumlah kendaraan yang beroperasi di Jakarta sangat banyak. Kendaraan bermotor yang teregistrasi di Polda Metro Jaya mencapai lebih dari 20 juta unit, sementara kendaraan listrik mencapai 40 ribu unit. Belum lagi kegiatan transportasi dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) terkonsentrasi di Jakarta. Kendati bukan satu-satunya sumber pencemar udara, transportasi memberi dampak yang signifikan. Buktinya dapat dilihat saat terjadi pandemi Covid-19. Ketika pemerintah menetapkan aturan Pemrberlakun Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), polusi udara tidak setinggi saat ini.
Upaya mengatasi polusi udara sebetulnya telah dilakukan Pemerintah DKI Jakarta, hanya saja belum efektif. Salah satu langkah yang dilakukan pemerintah ialah dengan menerbitkan Peraturan Gubernur (PERGUB) Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor. Aturan ini dalam pelaksanaanya tidak mudah untuk diterapkan. Kebijakan yang dikeluarkan hanya diterapkan untuk kendaraan roda empat ke atas. Padahal 30 persen dari jumlah kendaraan yang beroperasi di Jakarta merupakan kendaraan roda dua.
Selain menetapkan aturan pemeriksaan emisi gas buang terhadap kendaraan roda dua, pemerintah seharusnya dapat lebih berkonsentrasi lagi untuk membatasi emisi gas buang dari kendaraan umum. Pengembangan transportasi umum di Jakarta sudah cukup baik. Pengembangan Moda Raya Terpadu (MRT) dan Lintas Rel Terpadu (LRT) sebagai transportasi massal sudah sangat baik karena tidak mengeluarkan emisi gas buang. Kemudian secara bertahap perlu bertransisi dari kendaraan umum berbahan bakar fosil menuju kendaraan listrik.
Meskipun banyak yang mengatakan energi yang digunakan kendaraan listrik masih bersumber dari pembangkit listrik yang menggunakan energi fosil sehingga tetap menghasilkan polusi, tetapi polusi yang dihasilkan akan terkonsentasi di satu tempat saja. Sementara mobilitas kendaraan berbahan bakar fosil dapat menyebarkan emisi gas buang ke segala arah.
Pemerintah juga bisa melakukan pembatasan emisi gas buang pada kendaraan milik pemerintah dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini tentu mudah dilakukan karena kendalinya berada di tangah pemerintah.
Mengatasi polusi udara juga perlu peran aktif dari masyarakat. Kesadaran masyarakat untuk beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi publik sangat penting dalam mengatasi polusi udara. Selama ini masyarakat merasa lebih nyaman dan lebih bebas jika menggunakan kendaraan pribadi. Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, pemerintah bisa menetapkan aturan pembatasan kendaraan pribadi berbahan fosil. Pembatasan ini mungkin tidak bisa dilakukan di seluruh wilayah, tetapi dapat dilakukan di beberapa wilayah dan secara bertahap diperluas jangkauannya.
Mengefisienkan Operasional Layanan Masyarakat
Kebijakan work from home (WFH) yang ditempuh sejumlah perusahaan kendati pandemi telah usai juga dapat diterapkan di kantor-kantor pemerintah maupun BUMD dan BUMN. Pemerintah dapat menerapkan kebijakan 50 persen WFH dan 50 persen work from office (WFO). Saya rasa tidak semua karyawan harus berada di kantor, kecuali pelayanan masyarakat yang membutuhkan kehadiran orang untuk melayani.
Sejumlah layanan yang dihadirkan pemerintah sudah dapat diakses melalui online. Artinya masyarakat tidak perlu berkumpul lagi di suatu tempat, menggunakan kendaraan pribadi menuju tempat tersebut untuk mendapatkan layanan dari pemerintah. Memang perlu diakui bahwa banyak masyarakat yang belum memiliki kesadaran untuk beralih ke layanan online. Kurangnya kesadaran ini menurut saya karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah.
Sosialisasi yang dilakukan pemerintah melalui iklan dan media sosial seperti Istagram, Facebook, dan TikTok dirasa belum cukup untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Sosialisasi dan edukasi perlu dilakukan secara offline dengan cara memberikan brosur dan tata cara registrasi, serta pembayaran pajak secara online saat masyarakat datang ke tempat layanan tersebut. Kalau sosialiasi dilakukan dengan segala cara dan dilakukan secara masif, maka dampaknya akan sangat signifikan.
Bagaimanapun kegiatan transportasi sangat berkaitan dengan mobilitas kendaraan. Dengan kebijakan WFH bagi aparatur pemerintah, pegawai BUMD dan BUMN, meningkatkan efisiensi layanan online, dan membatasi penggunaan kendaraan pribadi berbahan bakar fosil, maka emisi gas buang kendaraan yang menjadi salah satu pencemar udara akan berkurang. Namun, tanpa partisipasi dari masyarakat, persoalan polusi udara ini tidak akan cepat teratasi.
*Dr. Ellen Tangkudung, M.Sc merupakan dosen di Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan pengamat transportasi dari Universitas Indonesia. Artikel dibuat berdasarkan wawancara pada Kamis, 5 Oktober 2023.