Kemampuan berpikir kritis dan mental agen perubahan (agent of change) harus dimiliki oleh setiap orang. Kedua hal ini dapat dilatih dengan terbiasa mengemukakan pendapat dan terlibat aksi perubahan maupun pembangunan di masyarakat.
Perkembangan teknologi yang memungkinkan otomasi berbagai pekerjaan berpotensi menggantikan peran manusia. Kendati demikian, terdapat beragam soft skill yang tak akan tergantikan oleh teknologi, salah satunya kemampuan berpikir kritis.
Getar Hati, M.Kesos., Ph.D, dosen sekaligus peneliti di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) mengatakan, berpikir kritis ialah kemampuan menggunakan akal secara logis untuk menerima informasi, pengetahuan, maupun data dari berbagai sumber secara terbuka. Informasi tersebut kemudian dianalisis untuk membantu membuat keputusan baik untuk diri maupun kepentingan banyak orang.
“Berpikir kritis merupakan mata kuliah paling dasar yang diberikan di UI. Hal ini bertujuan agar mahasiswa mampu mengolah pemikiran mereka dan terhindar dari sesat pikir (logical fallacy) untuk mengambil keputusan dengan baik,” ucap Getar.
Getar menambahkan, kemampuan berpikir kritis sangat dipengaruhi latar belakang seseorang. Model pengasuhan keluarga, pendidikan, dan nilai-nilai sosial di lingkungan maupun wilayah tempat tinggal seseorang berperan besar menentukan kemampuan berpikir kritis seseorang. Model pengasuhan dan pendidikan di sekolah pada level sebelumnya yang terbiasa memberi kebebasan dan keterbukaan untuk memberikan pendapat dan gagasan membuat individu mampu menerima informasi secara terbuka, menganalisis, kemudian membuat keputusan.
Sebaliknya, model pengasuhan keluarga dan pendidikan semasa sekolah yang tidak terbiasa memberi kesempatan mengemukakan pendapat membuat individu sulit untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Oleh karena itu, perguruan tinggi menerapkan berbagai model pembelajaran untuk mendorong baik secara individu maupun kelompok menumbuhkan pemikiran kritisnya. Hal ini sejalan dengan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi untuk menstimulus para mahasiswa menjadi generasi yang mampu berpikiran terbuka.
Lebih jauh Getar menjelaskan, kemampuan berpikir kritis yang dimiliki diharapkan mendorong individu menjadi agen perubahan dan agen pembangunan. Apa pun latar belakang pendidikannya, bagaimanapun status sosialnya, sikap dan mental untuk memberi kontribusi yang positif di lingkungan sekitar harus melekat dalam diri kita. Paling tidak, setiap orang bisa menjadi penggerak perubahan maupun pembangunan di sistem terkecil sosialnya, yakni keluarga. Pada akhirnya, ia mampu menjadi agen pembangunan dalam sistem sosial yang lebih besar.
Getar tak menampik, ada kalanya seseorang yang mampu berpikir kritis enggan untuk terlibat dalam berbagai aksi di lingkungan sosial mereka. Menurutnya, hal demikian wajar terjadi sebab dalam melakukan perubahan dan pembangunan memang perlu pembagian peran. Hanya saja, secara basic skill, kemampuan berpikir kritis kemudian membuat aksi seharusnya dimiliki oleh semua orang.
“Kami terus mendorong mahasiswa tidak hanya memiliki tataran knowledge yang baik, tetapi juga aktif melakukan aksi di masyarakat dengan cara memberi peran. Cara ini akan memberikan tanggung jawab dan pengalaman baru yang penting bagi kehidupan mahasiswa di masa depan,” ucap Getar.
Pemberian peran, lanjut Getar, dimulai dari tahapan teori. Beberapa kelas yang ia kembangkan bersama Prof. Isbandi Rukminto Adi, menfasilitasi mahasiswa bermain peran (role play) sebagai perwakilan masyarakat, pemuda, Lembaga Swadaya Masyarakat, lembaga swasta, maupun pemerintah. Berbagai kelompok ini kemudian berdiskusi terkait isu tertentu dan mencari solusi bersama untuk mengatasi permasalahan yang terjadi. Pada tataran praktik, mahasiswa didorong untuk menjangkau kelompok masyarakat secara langsung. Mahasiswa dilatih untuk mengimplementasikan program sederhana, paling tidak jangka pendek, yang memberi dampak atau membuat kebaruan di masyarakat.
“Contohnya, dalam mata kuliah perencanaan partisipatoris, teori diberikan hanya beberapa sesi saja, selebihnya mahasiswa lebih aktif dan intens di komunitas. Di kelas lebih banyak konsultasi bimbingan terkait asesmen dan rancangan program yang mereka kembangkan di masyarakat,” terang Getar.
//Pointer//
Cara Melatih Berpikir Kritis dan Agen Perubahan
1. Melatih Mengemukakan Pendapat
Mahasiswa senantiasa didorong untuk mengemukakan pendapat di kelas. Bagi mahasiswa yang tidak terbiasa, didorong menyampaikan pendapat melalui tulisan. Selain kedua cara tersebut, mahasiswa juga ditugaskan atau dilibatkan dalam beragam proyek baik individu atau kelompok. Dengan begitu mereka terbiasa untuk menerima informasi, mengolah informasi, dan membuat keputusan sehingga terlatih untuk berpikir kritis.
2. Terjun Langsung ke Masyarakat
Dengan terjun langsung ke masyarakat, mahasiswa akan memiliki beragam sudut pandang. Pengetahuan yang diperoleh di dalam kelas kemudian dikoneksikan dengan pengalaman di lapangan akan membuat mahasiswa terbiasa mengolah beragam sudut pandang tersebut dan menghasilkan nilai yang objektif. Nilai objektif ini merupakan hasil dari pemikiran kritis yang dilatih di dalam kelas dan berinteraksi dengan beragam komunitas masyarakat.