Membangun Museum untuk Indonesia

Mengawali karier sebagai asisten peneliti, kiprahnya dalam pembangunan museum tak diragukan lagi. Tak hanya terlibat, Erwien berperan sebagai pimpinan proyek di sejumlah museum di Tanah Air.

Dalam bidang museum di Tanah Air nama Erwien Kusuma lekat disematkan dengan beragam julukan, sebagai konsultan, kurator, hingga praktisi museum. Dari sekian banyak julukan tersebut, alumni Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia ini  merasa lebih nyaman melekatkan profesi yang dilakoninya sebagai kurator museum independen. Menurut Erwin, frasa ini layaknya profesi kurator di galeri seni rupa.

“Konsultan identik dengan profesi yang membangun museum dari A-Z, padahal ada tahapan fisik yang domainnya kontraktor. Karena itu lebih nyaman dikenal sebagai kurator museum independen, sebagai individual ekspert yang mengkurasi museum,” ucap Erwien.

Pria yang menamatkan studinya di Universitas Indonesia pada 2004 ini telah banyak berkiprah dalam pembangunan museum di Tanah Air, seperti Museum Bank Indonesia, Museum Polri, Galeri BCA, Museum Maritim Indonesia, hingga Museum HAM Omah Munir. Kiprah Erwien dalam pembangunan museum bermula ketika tergabung dalam Unit Khusus Museum Bank Indonesia (UKMBI), organisasi Ad Hoc yang dibentuk untuk membangun museum Bank Indonesia.

Mengawali karier sebagai asisten peneliti, Erwien bertugas melakukan sejumlah riset seperti sejarah ekonomi hingga sejarah bank sentral Indonesia. Pengalaman yang ternyata berpengaruh besar dalam keriernya. Pengalaman bekerja di UKMBI ini membuatnya menyadari bahwa yang terpenting dalam membangun museum ialah membangun konten yang terdiri dari narasi dan koleksi.

Erwien tak menampik banyak pembangunan museum di Indonesia kerap mendahulukan tata ruang terlebih dahulu ketimbang kontennya. Garda terdepan pembangunan museum dikepalai oleh arsitek dan desainer. Biro arsitek ini kemudian merekrut sejarawan yang bertugas menentukan konten dari museum yang dibangun. Sementara Erwien memilih sebaliknya. Pembangunan museum harus dimulai dari konten yang kemudian di-highlight sesuai tujuan dari museum tersebut.

Untuk menentukan konten yang tepat diperlukan riset. Tradisi riset yang telah mengakar dalam diri sejak duduk di perguruan tinggi menjadi bekal penting baginya ketika memutuskan menjadi kurator, profesi yang bertugas sebagai dirigen dalam pembangunan museum. Kurator bertugas memimpin seluruh tim yang terdiri dari multidisiplin dan multielemen yeng berbeda seperti museolog, seniman, arsitek, peneliti hingga desainer grafis.

“Kurator yang mengerti konten karena menghayati penelitian dari awal sampai akhir inilah yang ideal menjadi dirigen dari pembangunan museum,” terang Erwien.

 

Mengembalikan Seni Rupa ke Pangkuan Museum

Berdirinya beragam museum baru semakin memperkaya khazanah masyarakat. Pada 2000-an muncul beragam museum yang diperuntukkan sebagai proyek komunikasi dari lembaga maupun perusahaan. Museum menjadi sarana komunikasi kepada publik atas apa yang telah dan yang akan mereka lakukan di masa depan.

Berkembangnya ekosistem filantropi, kedermawanan sosial yang mendukung munculnya karya seni atau akuisisi karya seni juga telah menggeser peruntukkan galeri. Galeri yang semula sebagi tempat jual beli kemudian berkembang menjadi showroom. Beragam museum baru seperti Museum Macan semakin mendekatkan museum ke publik.

“Museum dan galeri memiliki irisan. Keduanya menyimpan dan merawat koleksi serta mengedukasi masyarakat atas koleksi tersebut. Bedanya, koleksi museum terdiri dari benda bersejarah dan benda purbakala, sementara galeri menyimpan koleksi seni rupa,” terang Erwien.

Erwien menyayangkan banyak museum Indonesia yang tidak menyadari betapa berharganya koleksi seni rupa yang terdapat di dalam museum yang mereka kelola. Di luar negeri, museum tidak hanya menyimpan artefak sejarah saja, tetapi juga seni rupa. Oleh karena itu, ia ingin mengembalikan koleksi seni rupa ke pangkuan museum. Menurutnya, langkah ini sangat ideal bagi museum di Indonesia.

Selain mengembalikan koleksi seni rupa ke dalam museum, Erwien menilai pentingnya memetakan lokasi museum. Ia mencontohkan, seharusnya museum sejarah Jawa dibangun di Aceh, di Kalimantan terdapat museum Sulawesi, sementara museum Jakarta ada di Papua dan museum Papua ada di Ibu Kota. Dengan begitu pemahaman masyarakat akan sejarah menjadi lebih kaya.

Bagikan artikel ini

Artikel lainnya