Kita Menjadi Keluarga Tangguh

Resiliensi akan tampil lebih kuat pada keluarga yang mengalami masalah berat. Resiliensi membuat keluarga tidak mudah jatuh pada pusaran keputusasaan.

Dr. Adriana S. Ginanjar, M.S., Psikolog

Dosen dan Ketua Kelompok Riset Studi Keluarga Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Dalam kehidupan yang penuh dengan berbagai tantangan, kemampuan untuk bertahan, pulih, serta bangkit menjadi lebih kuat sangat diperlukan. Kemampuan ini dikenal dengan istilah resiliensi. Tidak hanya dalam tataran individu, kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan dan tantangan hidup juga sangat penting bagi keluarga. Dengan adanya resiliensi keluarga, setiap anggota keluarga dapat saling memberikan dukungan saat menghadapi situasi krisis dan menantang.

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (FPSI UI) Dr. Adriana S. Ginanjar, M.S., Psikolog., mengatakan, menurut Froma Walsh, clinical psychologist and family therapist asal Amerika Serikat, resiliensi keluarga merupakan kapasitas keluarga sebagai sistem fungsional untuk bertahan dan pulih dari tantangan hidup yang penuh tekanan, kemudian bangkit menjadi lebih kuat, bahkan lebih banyak memiliki sumber dan potensi. 

Resiliensi memerlukan lebih dari sekadar mengelola kondisi stres, memikul beban, atau bertahan dari cobaan berat. Resiliensi melibatkan potensi transformasi pribadi dan relasional, serta pertumbuhan positif yang merupakan hasil dari tempaan pengalaman yang sulit. Perspektif resiliensi keluarga secara mendasar mengubah lensa berbasis defisit, dari yang semula melihat keluarga bermasalah sebagai “keluarga rusak dan tidak dapat diperbaiki”, menjadi keluarga yang ditantang oleh kesulitan hidup. 

Seiring perkembangan zaman, lanjut Adriana, konsep keluarga telah berubah. Menurutnya, harmonis saja tidak cukup untuk menghadapi tantangan di era modern ini. Agar mampu bertahan dan bangkit lebih kuat, keluarga harus memiliki resiliensi. 

“Di dalam keluarga yang memiliki anak autisme, misalnya, karakteristik keluarga harmonis mungkin tidak seluruhnya dapat dipenuhi. Mereka tidak bisa berlibur bersama atau sekadar menonton film di bioskop tanpa khawatir anaknya tantrum,” kata Adriana. 

Adriana menambahkan, dibandingkan dengan keluarga lain, keluarga ini harus melakukan pembagian tugas secara jelas, mengatasi stressor harian yang muncul dari kondisi anaknya. Keluarga juga perlu memastikan finansial yang baik sebab anak berkebutuhan khusus membutuhkan biaya yang tak sedikit. Kakak dan adik kandung anak tersebut mungkin merasa kurang mendapat perhatian, tetapi menyadari harus membantu orang tuanya dan mengembangkan diri secara mandiri tanpa bisa terlalu bermanja-manja kepada orang tuanya. 

“Kalau dilihat dari kacamata keluarga harmonis, keluarga ini tidak memenuhi seluruh karakteristik harmonis, tetapi mereka optimis, pekerja keras, kemudian fleksibel untuk beradaptasi karena karakteristik keluarganya berbeda. Bagi keluarga tertentu, keluarga yang menghadapi tantangan besar, resiliensi lebih penting daripada harmonis. Resiliensi membuat keluarga tidak terpuruk ke dalam pusaran pesimis,” ujar Adriana. 

Daya Lenting Lebih Tinggi

Adriana yang juga merupakan Ketua Kelompok Riset Studi Keluarga FPSI UI menambahkan, resiliensi bersifat  dinamis karena situasi setiap keluarga berbeda-beda. Pada keluarga di perkotaan, resiliensi terlihat dari bagaimana cara mereka mengembangkan diri, mengatasi masalah-masalah rumit, serta bagaimana orang tua mengajarkan dan menanamkan keterampilan resiliensi pada anak-anaknya. 

Sementara pada keluarga yang hidup di daerah konflik, resiliensi mungkin tidak terlihat sebagai usaha-usaha keluarga untuk bangkit dari kondisi tertekan atau terpuruk, karena pemicu stres dan tekanan berlangsung jangka panjang. Dalam konteks Indonesia, resiliensi pada keluarga yang hidup di daerah konflik salah satunya bisa dilihat dari family belief system, yaitu keyakinan akan adanya bantuan dari Tuhan, sikap optimis, dan pentingnya saling mendukung. Mereka percaya selama bersama-sama berjuang, kondisi hidup mereka akan menjadi lebih baik di masa depan.

Lebih jauh Adriana menjelaskan, pandemi Covid-19 dapat menjadi gambaran bagaimana keluarga mampu menghadapi situasi dan kondisi yang tak terduga. Mewabahnya virus Corona yang mengubah berbagai sendi kehidupan, pada awalnya membuat manusia tergagap untuk menghadapinya. Tetapi perlahan-lahan semua manusia belajar, beradaptasi pada situasi yang tak terduga ini. 

“Banyak orang yang kemudian mencari bantuan baik melalui media, tenaga profesional, atau belajar menemukan cara-cara baru untuk situasi baru ini. Banyak yang belajar untuk menghasilkan uang dengan cara-cara yang kreatif setelah mengalami PHK. Ada pula yang akhirnya memiliki quality time lebih banyak dengan keluarga,” terang Adriana. 

Adriana tidak menampik bahwa ada orang-orang yang berhasil melewati beberapa ujian hidup, tetapi kemudian terpuruk lebih lama ketika tantangan yang datang lebih besar dari sebelumnya. Meskipun demikian, terdapat juga keluarga yang mampu bangkit lebih cepat ketika menghadapi pandemi ini. Kemampuan untuk melenting lebih cepat ini menunjukkan resiliensi telah menetap dalam keluarga tersebut. 

“Memang resiliensi akan tampil lebih kuat pada keluarga yang mengalami masalah berat, makanya disebut dengan daya lenting. Keluarga yang mampu berkembang jauh lebih kuat ketika menghadapi krisis yang berat artinya memiliki daya tangguh yang baik,” ucap Adriana. 

Keluarga yang memiliki resiliensi akan menciptakan individu di dalamnya menjadi lebih percaya diri. Mereka tidak cemas ketika menghadapi masalah. Keluarga ini akan melihat hidup lebih optimis dan melihat masa depan secara lebih positif. Ketika individu berada di dalam keluarga yang sehat secara emosional biasanya ia memiliki lingkungan atau support group yang positif, interaksi yang relatif stabil dan menyenangkan, dan menjadi keluarga yang lebih bahagia.

Bagaimana Menumbuhkan Resiliensi Keluarga?

Membentuk keluarga yang tangguh lebih mudah dilakukan jika kita berasal dari keluarga yang memiliki resiliensi. Individu yang berasal dari keluarga dengan resiliensi tinggi telah memiliki berbagai keterampilan untuk adaptasi, seperti memiliki empati, regulasi emosi, kontrol diri, dan sikap optimis. Meskipun begitu tak berarti kita tak bisa memulainya. Berikut ini tiga kategori yang penting dalam membangun resiliensi keluarga

1. Family Belief System

Di Indonesia Family Belief System sering dikaitkan dengan keyakinan terhadap Tuhan. Keluarga mengajarkan bahwa hidup tidak lepas dari masalah, tetapi selama kita percaya pada Tuhan, berdoa dengan sungguh-sungguh, maka hidup akan menjadi lebih baik. 

2. Family Organizational Pattern

Keluarga melakukan perubahan adaptif untuk menghadapi tantangan baru. Mengatur ulang peran dalam keluarga untuk mengembalikan keseimbangan keluarga yang terguncang akibat masalah yang dihadapi. Dalam poin ini, orang tua perlu menerapkan pola kepemimpinan yang mengasuh, membimbing, dan melindungi. 

 

3. Communication and Problem Solving

Resiliensi bisa dimulai dengan mengembangkan komunikasi terbuka pada anak. Ketika anak melakukan kesalahan sebaiknya tidak bereaksi keras, melainkan menahan diri, lalu berbicara ketika kondisi anak sudah tenang. Keluarga juga perlu terbuka terhadap seluruh emosi. Anak diberi kesempatan untuk mengekspresikan emosi positif dan emosi negatif sehingga anak-anak akan terbiasa mengekspresikan seluruh emosinya. 

 

Tips Resiliensi bagi Keluarga Muda

1. Ciptakan Waktu yang Berkualitas

Banyak pasangan muda mencoba memberikan yang terbaik untuk anak dengan memberikan lingkungan rumah yang menyenangkan dan memasukkan ke sekolah terbaik. Mereka menilai uang yang banyak akan menciptakan keluarga yang baik dan anak-anak yang kuat. Akhirnya fokus untuk mencari uang. Padahal, untuk membangun resiliensi keluarga diperlukan waktu dan interaksi yang berkualitas, pendampingan, dan pelatihan berbagai keterampilan dalam menghadapi perubahan dari orang tua.

2. Resiliensi adalah Kerja Keras

Untuk mengembangkan keluarga yang kuat dibutuhkan kerja keras. Orang tua perlu energi besar untuk anak-anak, kesediaan diri untuk mendengarkan apa yang dibutuhkan oleh anak-anak. Yang juga tak kalah penting ialah membangun relasi suami istri yang baik. Perhatikan perkembangan keluarga, ciptakan relasi dan interaksi yang sehat dan kuat dengan anak dan pasangan, dengan begitu kita mampu menjadi keluarga yang tangguh.

3. Mengajarkan Nilai Agama dan Kemanusiaan

Mengajari anak-anak mengenai nilai-nilai agama dan kemanusiaan (humanity) juga penting untuk membentuk keluarga yang tangguh. Nilai-nilai agama dan humanity ini akan menjadi model positif bagi anak. Anak-anak akan belajar menghargai perbedaan, keberagaman, dan keunikan orang lain.

Bagikan artikel ini

Artikel lainnya