Selain mudah digunakan tanpa alat bantu khusus, C-clamp Sistem UI-CM juga fleksibel karena dapat disesuaikan dengan ukuran badan pasien dan harganya terjangkau.
Penyakit degeneratif dan trauma menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia. Salah satu penyakit trauma yang cukup tinggi di dunia disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Menurut World Health Organization kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab kematian dan disabilitas tertinggi ke-3 di dunia pada 2030 nanti. Diperkirakan sebanyak 60 juta pasien akan mengalami cedera serius atau cacat dalam 10 tahun ke depan. Sebanyak enam juta pasien diperkirakan akan meninggal akibat kecelakaan lalu lintas ini.
Salah satu penyakit yang disebabkan kecelakaan lalu lintas ialah fraktur pelvis atau patah pelvik. Penyakit yang dapat terjadi akibat trauma ini terjadi ketika tulang panggul mendapat hantaman keras. Fraktur pelvis merupakan cedera ortopedi yang paling sering merenggut nyawa manusia dengan angka kematian mencapai 6-35 persen.
Guru Besar Orthopaedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Prof. Dr. dr. Ismail Hadisoebroto Dilogo, Sp.OT(K) mengatakan, patah pelvik menyebabkan terjadinya pendarahan. Pendarahan ini menyebabkan nadi meningkat dan tekanan darah menurun sehingga terjadi kehilangan kesadaran. Ketika tensi darah rendah dan nadinya juga rendah, pasien akan meninggal.
“Agar pasien tidak kehilangan banyak darah, maka tulang pelvik yang terbuka ini harus ditutup. Salah satu metode yang digunakan dengan pemberian fiksasi dari dua buah paku kanan dan kiri di daerah tulang pelvis,” terang Ismail.
Ismail menambahkan, pemasangan alat fiksasi pada kasus patah pelvik merupakan penanganan awal untuk membantu pasien agar tidak meninggal. Ketika pasien telah selamat dan survive, beberapa hari kemudian baru dilakukan proses pemasangan pen. Sayangnya alat fiksasi C-Clamp invensi Ganz yang selama ini digunakan masih memiliki keterbatasan, terutama pemasangannya yang tidak praktis, tidak bisa digunakan pada pasien dengan lingkar perut yang besar, dan harganya sangat mahal.
Guna memudahkan pasien mendapat penanganan dalam fraktur pelvis, Ismail mengembangkan alat fiksasi pelvis modifikasi C-clamp Sistem UI-CM. Produk inovasi yang diproduksi bersama mitra industri PT Eka Ormed Indonesia ini memiliki sejumlah keuggulan dibandingkan dengan produk yang telah ada. C-clamp Sistem UI-CM dapat dipasang dengan cepat secara manual tanpa alat khusus dan dapat disesuaikan baik dari tinggi maupun lebar sesuai tubuh pasien. Dibandingkan dengan produk impor yang harganya mencapai Rp500 juta, inovasi rancangan Ismail memiliki harga terjangkau.
Dikembangkan sejak 2008, sertifikat paten C-clamp Sistem UI-CM berhasil diperoleh Ismail pada 2012. Hingga 2018, terdapat 26 subjek yang menggunakan C-clamp Sistem UI-CM. Dari hasil pemantauan pada 26 pasien tersebut dinyatakan bahwa C-clamp UI-CM berhasil mereparasi fraktur pelvis lesi posterior dan tidak ditemukan mortalitas awal maupun lanjut selama perawatan di rumah sakit.
“Ada satu subyek (3,8 persen) yang mengalami sciatic nerve palsy. Subjek ini berhasil pulih total dalam waktu enam bulan,” terang Ismail.
Inovasi Fiksasi Eksterna Periartikuler
Selain mengembangkan alat fiksasi pelvis, bersama Erwin S.T; M.T, ia mengembangkan alat fiksasi yang digunakan untuk masalah patah tulang kompleks di tulang panjang dekat sendi dan rekonstruksi tulang panjang yang mengalami kelainan. Lahirnya Inovasi Fiksasi Eksterna Periartikuler salah satunya didorong tingginya kasus neglected fracture, yakni patah tulang yang tidak ditangani atau mendapat penanganan yang tidak sesuai sehingga dapat berujung pada kecacatan.
Dokter spesialis Ortopaedi dan Traumatologi FK UI-RSCM pertama dari Indonesia yang meneliti Stem Cell atau Sel Punca ini mengatakan, pasien dengan tingkat pengetahuan yang rendah kerap melakukan perawatan di dukun tulang. Pasien-pasien ini seringkali mengalami gagal sambung atau kalaupun menyambung, tetapi tulangnya memendek.
“Kalau di ortopedi bukan sekadar menyambung, tetapi berfungsi seperti semula. Pasien dapat kembali berjalan normal. Pemain sepak bola setelah diobati dapat kembali bermain sepak bola. Jadi bukan sekadar nyambung, tapi memendek,” terang Ismail.
Lebih jauh Ismail menerangkan, alat Fiksasi Eksterna Periartikuler hasil rancangannya juga mengatasi kelemahan-kelemahan beberapa alat fiksasi eksterna periartikuler yang telah ada sebelumnya. Alat ini dapat digunakan untuk fiksasi pada fraktur di dekat sendi dan memberikan stabilitas yang lebih baik pada fraktur yang sangat kompleks.
Alat ini terdiri dari poros yang berfungsi sebagai chasis dan dua jenis pemegang paku yang ditanam di tulang. Pemegang paku satu dapat digunakan pada saat luas permukaan tulang cukup lebar untuk menanam paku dengan kondisi yang lebih stabil. Sementara pemegang paku dua digunakan pada luas permukaan tulang yang sedikit. Inovasi ini menggunakan material stainless stell 304 untuk poros dan pemegang paku dan alumunium untuk poros dan pemegang paku yang lebih besar.
Fiksasi Eksterna Periartikuler dapat digunakan untuk beragam kasus patah tulang seperti pengobatan pada pasien yang mengalami fraktur dan dislokasi maupun untuk prosedur lengthening. Untuk kasus dislokasi pemakaiannya berkisar dua hingga tiga minggu. Sementara pada kasus lengthening alat fiksasi ini digunakan sesuai dengan seberapa panjang tulang yang diperlukan.
“Misalnya kita ingin menumbuhkan 7 cm. Dengan pertumbuhan tulang 1 mm per hari, dibutuhkan 70-80 hari hari untuk mencapai 70 cm. Paling tidak tiga bulan pasien menggunakan alat ini,” jelas Ismail.
Selain digunakan untuk kasus patah tulang terbuka dan neglected fracture, lanjut Ismail, alat fiksasi ini juga dapat digunakan pada pasien yang mengalami infeksi sendi yang disebabkan oleh Tuberkulosis (TBC). Setelah melakukan beberapa kali operasi dan tak kunjung sembuh, tim dokter memutuskan untuk memasangkan alat ini pada tulang pasien. Menurut Ismail, sendi lutut pasien memang menjadi kaku, tetapi tidak lagi mengalami infeksi.
Mengantongi sertifikat paten sejak 11 November 2013, Fiksasi Eksterna Periartikuler ini telah terdaftar dalam E–Catalogue. Dengan terdaftar di dalam E–Catalogue, ia berharap alat ini dapat digunakan oleh masyarakat, terutama para pasien BPJS. Ismail juga berharap bahwa inovasi hasil penelitiannya dapat memudahkan hidup banyak orang.
“Inovasi tidak harus benar-benar baru, tetapi bisa juga dengan memodifikasi inovasi yang ada. Tujuan dari inovasi adalah memudahkan. Ketika masalah yang dihadapi sudah menemukan solusi, inovasi tetap dilakukan agar solusi yang diberikan semakin memudahkan banyak orang,” ucap Ismail.