Selain ramah lingkungan, semen geopolimer hasil rancangan mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia ini hanya membutuhkan tiga hari untuk mendapat kekuatan optimum beton.
Pembangunan infrastruktur menjadi salah satu sektor vital sekaligus program prioritas Pemerintah Indonesia untuk mencapai Visi Indonesia 2045. Melalui pembangunan infrastruktur ini diharapkan dapat meningkatkan konektivitas sehingga merangsang pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah di Tanah Air.
Co-Founder Geofast Achmad Fauzi Trinanda mengatakan, pembangunan infratruktur yang dilakukan pemerintah secara masif sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan material bangunan, terutama semen. Sayangnya, proses produksi semen konvensional (portland) sangat tidak ramah lingkungan karena dalam proses kalsinasi batu kapur (CaCO3) menjadi CaO mengeluarkan emisi gas CO2 ke atmosfer yang dapat menyebabkan pemanasan global.
“Oleh karena itu kami mengembangkan Geofast, semen geopolimer ramah lingkungan karena terbuat dari limbah industri. Dengan terciptanya produk ini diharapkan pembangunan di Indonesia berjalan dengan baik, dengan tetap memperhatikan sisi lingkungan yang tetap terjaga,” kata Achmad.
Dikembangkan bersama Elton Cang, Rama Aditya Syarif, dan Suparlan, semen ramah lingkungan ini terbuat dari limbah industri sebagai sumber alumina silika sehingga lebih ramah lingkungan. Adapun limbah industri yang digunakan adalah terak nikel atau berbahan slag (limbah tambang/smelter). Dibimbing oleh Dr. Ir. Sotya Astutiningsih, M.Eng., Geofast yang dikembangkan oleh mahasiswa dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FT UI), ini berkembang menjadi perusahaan rintisan.
Co-founder Geofast, yang juga merupakan mahasiswa Program Pascasarjana FT UI angkatan 2019, Suparlan, menerangkan, jika semen konvensional memerlukan tanah kapur sebagai bahan baku dan harus dipanaskan pada tanur 600 derajat celcius, Geofast menggunan limbah sebagai bahan utamanya. Demikian pula dalam proses produksi, semen Geofast sangat minim emisi karbon dan polusi.
“Selain ramah lingkungan, semen Geofast hanya membutuhkan hitungan hari untuk mencapai kekuatan optimum. Jika semen konvensional membutuhkan 28 hari untuk menjadi beton, Geofast hanya membutuhkan 8 jam-3 hari untuk mendapat kekuatan optimum beton,” ujar Suparlan.
Dikenal di Level Global
Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi Universitas Indonesia Prof. Dr.rer.nat. Abdul Haris, M.Sc., mengapresiasi semangat wirausaha yang dimiliki oleh mahasiswa dan alumni UI. Inovasi yang dimulai dari bangku perkuliahan, kini bertumbuh menjadi perusahaan rintisan yang telah dikenal di level global.
“Keunggulan Geofast adalah menggabungkan teknologi pada sektor pembangunan infrastruktur berbasis material yang ramah lingkungan. Diharapkan terobosan dan dorongan semangat yang UI berikan mampu mendukung Geofast di dalam memproduksi semen dalam negeri dengan tetap memperhatikan sisi lingkungan agar tetap terjaga,” ucap Abdul Haris.
Perusahaan rintisan yang dibina oleh Direktorat Inovasi dan Science Technopark Universitas Indonesia (DISTP UI) ini memang telah diakui di kancah global. Geofast merupakan salah satu dari Top 52 XTC 2020, ajang kompetisi startup global yang diikuti lebih dari 2.400 startup dari 87 negara, yang berfokus pada sektor healthcare, education, agriculture, food and water, cleantech and energy, fintech, transportation and smart cities, and enabling technologies.
Selain mengharumkan nama Indonesia dan Universitas Indonesia pada ajang XTC 2020, perusahaan ritisan ini juga berhasil menyabet beberapa penghargaan, antara lain, Peringkat Kedua pada ajang Leaders Innovation Fellowship di London, penghargaan BPPT Awards pada 2019, dan medali perak pada ajang International Science and Invention Fair (ISIF) pada Juni 2019.