Flexing: Mencari Pengakuan dengan Menebar Kemewahan

Kasus kekerasan yang dilakukan anak seorang pejabat pajak terhadap anak pengurus Gerakan Pemuda Ansor mendapat lampu sorot dari netizen. Tak hanya tindak kekerasannya yang disorot, perilaku memamerkan gaya hidup mewah (flexing) di media sosial turut menjadi perhatian dari masyarakat.

Melihat fenomena flexing yang kian marak, kita perlu melihatnya dari dua aspek, psikologis pelaku flexing dan fenomena sosial.

Ketika kita melihat seseorang gemar memamerkan kemewahan, akan timbul pertanyaan, mengapa seseorang itu melakukannya dan mengapa sampai melakukan hal tersebut. Dari perspektif psikologi dapat diartikan bahwa orang tersebut merasa ada sesuatu yang tidak dimiliki yang kemudian berusaha didapatkan dengan cara flexing. Kalau didalami lebih jauh, perilaku ini erat kaitannya dengan cara seseorang melihat dan menilai dirinya sendiri atau biasa kenal dengan istilah self-esteem.

Setiap orang memiliki kesadaran tentang diri dan penilaian diri. Ketika merasa ada yang kurang, merasa self-esteem-nya rendah, akan merasa tidak nyaman dengan dirinya. Pelaku flexing berpikir akan menemukan kenyamanan dengan cara memperlihatkan gaya hidup mewahnya kepada orang lain. Pamer materi di media sosial menjadi cara yang ia pikirkan untuk meraih pujian dan pengakuan dari orang lain.

Saya pernah ditanya, apakah flexing hanya dilakukan oleh para orang kaya baru? Menurut saya tidak. Seseorang yang lahir dan tumbuh dalam keluarga kaya, tetapi merasa insecure dengan dirinya, sangat memungkinkan untuk memanfaatkan materi yang dimilikinya sebagai jalan untuk mencari rasa aman dan dihargai. Perasaan tidak aman ini bisa saja dipicu oleh trauma masa kecil seperti diabaikan, kurang mendapat kasih sayang dan perhatian.

Kebutuhan untuk mendapat pengakuan dan penghargaan dengan cara flexing ini dapat terjadi karena adanya media sosial. Fenomena flexing menjadi sebuah fenomena sosial ketika adanya media sosial yang kemudian mendorong terbentuknya kultur media sosial (Sosial Media Culture). Platform media sosial ini memberi kebebasan untuk mengekspresikan diri, menampilkan foto dari berbagai angle, dan menampilkan gaya hidup mewah. Media sosial menjadi media untuk meraih validasi dari orang lain. Semakin banyak like dan komentar afirmatif membuat seseorang merasa diakui dan dihargai.

 

Kembali Bertanya pada Diri

Saya melihat orang yang melakukan flexing tidak punya kendali atas dorongan psikologis yang datang untuk mencari pengakuan dengan jalan pamer kemewahan. Apakah Ketidakmampuan mengendalikan dorongan ini membutuhkan bantuan profesional?

Tidak, kecuali menjadi gangguan. Pada prinsipnya seseorang membutuhkan bantuan profesional saat diri dan orang di sekitarnya merasa terganggu. Ketika orang tersebut sudah benar-benar tidak punya kendali atas dorongan psikologis tersebut, memiliki obsesi seperti memamerkan seluruh hal yang dia miliki, mungkin membutuhkan bantuan profesional.

Jika belum pada tahap mengganggu, kemampuan untuk mengendalikan dorongan psikologis dapat dilatih. Pada dasarnya setiap orang bisa melakukannya, yakni dengan berbicara pada diri sendiri atau dikenal dengan istilah self-talk.

Sebelum mengunggah foto atau video ke media sosial, coba tanya pada diri, apakah hal ini berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari, apakah respons yang diberikan orang lain sesuai dengan yang saya harapkan atau justru berpotensi mendapat hinaan, cacian dan sebagainya. Berhenti sejenak sebelum mengklik tombol post di media sosial. Pikirkan dengan matang. Kalau cara ini dilakukan akan ada perubahan dalam diri, yang sebelumnya posting tanpa kendali, kemudian mampu mengendalikan dorongan dalam diri.

Hal lain yang bisa dilakukan agar tidak terjebak dalam perilaku flexing ialah memiliki kesadaran bahwa dunia maya bukanlah dunia nyata. Dunia maya merupakan dunia yang bisa dipoles. Tampilan wajah, gaya hidup, hingga like dan komentar bisa saja palsu. Lantas mengapa kita tidak berfokus saja pada dunia nyata. Memang benar seseorang bisa menggunakan topeng atau memalsukan citra diri di dunia nyata, tetapi tentu tak semudah melakukannya di dunia maya.

Melihat kehidupan tak hanya ke atas, tetapi juga sejajar dan ke bawah, akan membuat kita bisa lebih menghargai diri sehingga tidak membutuhkan validasi dari orang lain. Ketika kita telah menerima diri, berdamai dengan diri, maka mampu menerima diri apa adanya tanpa perlu membandingkan dengan orang lain. Kesadaran bahwa diri berharga tidak serta merta dinilai dari aspek materi, tetapi juga sikap dan perilaku. Penerimaan atas diri bukan berarti tidak berupaya menjadi sosok yang lebih baik. Kita tetap harus mengupayakan menjadi pribadi lebih baik dengan cara-cara positif.

Secara psikologis, perilaku flexing bisa dikendalikan, tetapi dari aspek sosial sangat sulit dilakukan. Selama masih ada media sosial, fenomena sosial flexing akan terus ada.

 

Dicky C. Pelupessy, Ph.D merupakan Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Aktif sebagai peneliti Lab. Intervensi Sosial dan Krisis, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Oleh Dicky C. Pelupessy, Ph.D

Bagikan artikel ini

Artikel lainnya