Dr. Sidik Pramono, S.T., M.A. : Teroka Jakarta Tanpa Status Ibu Kota Negara

Jakarta memasuki era baru setelah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta ditetapkan dan diundangkan pada 25 April 2024. UU DKJ terdiri atas 12 bab dan 73 pasal dan menjadi pengganti Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Seiring penetapan Nusantara sebagai ibu kota negara Indonesia yang baru, perlu ditentukan identitas baru untuk Jakarta. Secara substansial ada kehendak untuk menjadikan Jakarta sebagai Provinsi Daerah Khusus, sebagaimana konstitusi memberikan pengakuan dan penghormatan atas satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. 

Jakarta diredesain dengan kekhususannya sebagai pusat perekonomian nasional, kota global, dan kawasan aglomerasi. Jakarta bakal difungsikan sebagai pusat perdagangan, pusat kegiatan layanan jasa dan layanan jasa keuangan, serta kegiatan bisnis nasional, regional, dan global. Keinginan itu tecermin kemudian dalam tema peringatan ulang tahun ke-497 Jakarta pada Juni lalu, yakni “Jakarta Kota Global Berjuta Pesona”.

Tantangannya, apakah kelahiran UU yang baru bisa menopang keinginan tersebut?

Seturut posisinya sebagai ibu kota negara, Jakarta telah memainkan peran teramat signifikan dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Jakarta dengan pengungkit ekonomi utama seperti industri jasa keuangan ataupun sektor informasi dan komunikasi berkontribusi sebesar 16,7 persen bagi GDP Indonesia (BPS, 2023). Bahkan dalam konteks aglomerasi ekonomi megapolitan Jabodetabek, Jakarta memberikan kontribusi hampir seperempat ekonomi nasional. Jakarta adalah lokomotif perekonomian Indonesia dengan APBD-nya berkisar Rp80-an triliun dengan PDRB berkisar Rp2.900-3.400-an triliun dalam tiga tahun terakhir. 

Potret Besar Masalah Jakarta 

Namun, di sisi lain Jakarta dan wilayah sekitarnya juga menjadi potret besar permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Jakarta (dan sekitarnya) mengapungkan permasalahan kompleks yang sifatnya lintaswilayah dan lintassektoral, semisal soal transportasi publik, banjir dan pengelolaan sumber daya air, soal lingkungan dan tata ruang, maupun soal perumahan. 

Lihatlah sejumlah pengukuran berikut. Global Power City Index 2023 dari The Mori Memorial Foundation’s Institute for Urban Strategies masih menempatkan Jakarta pada posisi ke-45 dari 48 kota yang disurvei/ The Global Cities Report 2023 rilisan A.T. Kearney menempatkan Jakarta pada posisi ke-74 dari 156 kota yang disurvei. Global Financial Centres Index dari Z/Yen Partners & China Development Institute menempatkan Jakarta pada peringkat ke-102 dari 121 kota di dunia. Sementara pada rilisan Livability Index dari The Economist Intelligence Unit, peringkat Jakarta ke-139 dari 173 kota. Pun Cities in Motion Index dari University of Navarra’s IESE Business School tahun 2022 di mana Jakarta pada peringkat 152 dari 183 kota global di dunia yang dinilai. 

Merujuk pada indikator pengukuran yang dipakai, banyak tantangan yang harus diselesaikan oleh Jakarta, terkait isu strategis untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan seperti rob dan penurunan tanah, banjir, permukiman kumuh, pengelolaan sampah, dan juga kemacetan.

Salah satu argumentasi pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara ke Nusantara adalah upaya perlindungan masyarakat, khususnya di Jakarta dan sekitarnya, dari berbagai degradasi, ketidaknyamanan, dan katastrofe, seperti banjir atau bencana alam atau non-alam lainnya. Pemindahan ibu kota negara diharapkan dapat meringankan beban Jakarta yang sudah tidak mumpuni dari segi daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Pada titik itulah tantangan muncul, terutama terkait dengan isu laten perihal koordinasi pembangunan Jakarta dengan wilayah-wilayah di sekitarnya. 

Salah satu substansi yang juga penting untuk masa depan Jakarta adalah konsepsi aglomerasi, dengan tata kelola (governance) yang lebih kokoh demi menyinkronkan pembangunan Jakarta dengan daerah sekitarnya. Jakarta membutuhkan (dan juga dibutuhkan) oleh wilayah-wilayah di sekitarnya. Demi memenuhi kebutuhan tersebut, UU DKJ memunculkan kelembagaan baru berupa Dewan Kawasan Aglomerasi yang dibentuk dalam rangka mengoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang kawasan strategis nasional pada kawasan aglomerasi dan dokumen perencanaan pembangunan. 

Wajah Lebih Cerah untuk Indonesia

Jika nanti Keputusan Presiden tentang pemindahan ibu kota negara ke Nusantara telah ditandatangani, tentu tidak serta-merta segala hal langsung tertransfer seketika ke ibu kota negara yang baru. Pembangunan Nusantara untuk benar-benar menjadi “world class city for all” diplot butuh waktu 25-30 tahun. Dan pada masa-masa awal itu, tentunya metropolitan Jakarta masih (dan akan tetap) memiliki peran penting sembari menjalani periode restoratif maupun transformatifnya. 

Jakarta mempunyai 10 kawasan tematik potensial (thematic investment area) yang mesti terus dikembangkan. Belum lagi potensi utilisasi aset pemerintah pusat di Jakarta senilai Rp1.640 triliun, yang sekira Rp300 triliun bisa dimanfaatkan termasuk untuk transit oriented development (TOD). Beragam fasilitas yang sudah mapan juga akan menjaga keberadaan pelaku usaha dari berbagai wiayah dan negara. 

Alhasil, semestinya teroka masa depan Jakarta tanpa status ibu kota tetap membersitkan optimisme tentang peran penting Jakarta sebagai penjaga pertumbuhan dan memberikan kesejahteraan bagi warganya. Meski tak semudah membalik telapak tangan, desain ulang Jakarta (mudah-mudahan) akan memberikan wajah lebih cerah untuk Indonesia secara keseluruhan.  

 

 

*Dr. Sidik Pramono, S.T., M.A. merupakan dosen di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia sejak 2023 dan pernah bekerja sebagai wartawan Kompas 2001-2013

Bagikan artikel ini

Artikel lainnya