Prof. Dr. Dra. Sulistyowati Irianto, M.A.
Perjuangan menghapus diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia merupakan jalan panjang yang penuh liku. Namun, ia tak pernah mengendurkan semangatnya untuk bisa mewujudkan kesetaraan bagi perempuan di Tanah Air.
Kuliah magisternya di jurusan Antropologi Hukum Universitas Leiden, Belanda, belum rampung ketika surat dari Prof. Tapi Omas Ihromi Simatupang dan Prof. Koentjaraningrat, dua Guru Besar Universitas Indonesia datang kepadanya. Dalam sepucuk surat tersebut, Sulistyowati Irianto diminta menyelesaikan kuliahnya dan segera kembali ke Tanah Air guna membantu persiapan peluncuran dua mata kuliah baru, yakni Antropologi Hukum dan Gender dan Hukum.
Maka selepas menamatkan pendidikannya di Universitas Leiden, dosen Studi Hukum Masyarakat dan Pembangunan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) sejak 1986 ini pun segera kembali ke Indonesia. Bersama Prof. Ihromi, ia merancang kurikulum Gender dan Hukum dan Antropologi Hukum di FH UI maupun Pascasarjana Antropologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI.
Bersama Prof. Ihromi, Prof. Saparinah Sadli, dan beberapa dosen serta tokoh dari LIPI, ia mendirikan Convention Watch Working Group UI pada tahun 1994. Selama lebih dari 16 tahun, kelompok kerja ini berkeliling ke Fakultas-fakultas Hukum di Tanah Air. Melalui program “Engendering Faculties of Law’s Curriculum”, Convention Watch UI mengupayakan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui pendidikan hukum.
“Kami keliling Indonesia, dari Universitas Siah Kuala di Aceh sampai Universitas Cendrawasih di Papua. Kami ingin agar fakultas hukum di seluruh Indonesia memiliki mata kuliah gender dan hukum seperti yang ada di UI. Bisa dikatakan, UI adalah pionir mata kuliah Hukum dan Gender dan Antropologi Hukum di Tanah Air. Saat ini tidak kurang 100 fakultas hukum negeri dan swasta sudah memiliki kuliah tersebut seperti di UI,”ucap Sulis.
Dikukuhkan sebagai Guru Besar Antropologi Hukum UI pada 2008, kepeduliannya terhadap isu-isu perempuan tak sebatas teori di ruang kelas. Bersama Convention Watch UI, ia melakukan banyak program literasi hukum berperspektif keadilan gender, terutama kepada polisi, jaksa, hakim, dosen hukum, dan pengacara. Kelompok ini juga turut terlibat dalam mensosialisasikan berbagai instrumen hukum yang ramah terhadap perempuan atau melakukan analisis kritikal terhadap berbagai rancangan hukum yang bisa berdampak merugikan terhadap perempuan.
Di kelasnya, Sulis bercerita bagaimana ia berdiskusi dengan mahasiswi Kajian Gender yang suaminya adalah warga negara asing. Mahasiswi ini berjuang agar Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengamendemen Undang-undang Kewarganegaraan. Pernikahan antara perempuan Indonesia dengan warga asing kerap menimbulkan persoalan. Sebelumnya, status anak yang lahir dari pernikahan beda negara otomatis mengikuti kewarganegaraan ayah.
“Ada perempuan Indonesia yang dipenjara karena dituduh menyembunyikan warga negara asing, padahal itu anaknya sendiri. Berkat amendemen ini, anak dari perkawinan campur berhak memiliki dua kewarganegaraan hingga berusia 18 tahun. Setelah itu, mereka berhak menentukan status kewarganegaraannya,” ucap Sulis.
Perempuan yang terpilih sebagai panelis pada debat Cawapres 2024 ini juga aktif di berbagai organisasi internasional seperti The International Commission on Legal Pluralism dan The Asian Initiative on Legal Pluralism. Ia juga memiliki kedekatan dengan berbagai organisasi perempuan di Tanah Air. Sejak Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan didirikan pada 1998, ia telah bekerja sama dengan organisasi tersebut dan banyak organisasi perempuan lain untuk mengadvokasi berbagai isu, terutama terkait hukum dan kebijakan pemerintah yang tidak adil bagi perempuan.
Siap Turun ke Jalan Mengadvokasi Masyarakat
Upaya menghapus diskriminasi terhadap perempuan merupakan perjuangan yang terus dilakukannya hingga kini. Diskriminasi memang belum benar-benar hilang di negeri ini, tetapi telah terjadi perubahan yang signifikan dalam 26 tahun terakhir. Sejak reformasi 1998, gerakan perempuan bersama gerakan masyarakat sipil selalu berada di garda terdepan untuk reformasi hukum.
Reformasi UU pertama setelah runtuhnya kekuasaan Soeharto selama 32 tahun ialah Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pada pasal 45 dalam UU tersebut disebutkan, hak perempuan adalah hak asasi manusia. Berkat reformasi UU ini, beragam instrumen hukum pun hadir, di antaranya UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Pemberantasan Perdagangan Orang, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Lahirnya beragam instrumen hukum yang diinisiasi oleh gerakan perempuan luar biasa banyak, tetapi masalah yang dihadapi perempuan tidak kalah banyaknya. Angka kematian ibu saat melahirkan masih tinggi. Dari jumlah buta huruf di Indonesia, sebagian besar adalah perempuan. Jika melihat institusi pendidikan, lulusan terbaik didominasi oleh perempuan. Namun di dunia kerja, yang menduduki jabatan tinggi di tingkat manajerial kebanyakan laki-laki.
Mengapa demikian? Karena masih suburnya budaya patriarki yang mengutamakan laki-laki, sehingga perempuan selalu merasa bertanggung jawab atas beban domestik sekaligus kariernya. Apalagi budaya ini juga dilegalisasi melalui hukum perkawinan yang menempatkan suami sebagai kepala keluarga dan ibu adalah ibu rumah tangga saja. Meskipun dalam praktiknya banyak perempuan juga harus bekerja untuk menghidupi keluarga.
“Oleh karena itu, saya seringkali bersedia jika ada yang mengajak saya untuk seminar, webinar, atau bahkan turun ke jalan untuk mengadvokasi isu hukum dan perempuan.”