Ciptakan Lingkungan Pendidikan yang Ramah bagi Penyintas Gangguan Jiwa

Stigmatisasi dan diskriminasi masih sering dialami oleh Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Label negatif terhadap ODGJ kerap diikuti berbagai tindakan tidak terpuji, seperti diberhentikan dari pekerjaan, ditelantarkan oleh keluarga, dipasung, hingga dikeluarkan dari sekolah. Label negatif ini berasal dari asumsi yang berkembang bahwa ODGJ kerap tidak dapat mengontrol dirinya sehingga memberi dampak merugikan, padahal untuk berkomunikasi dengan ODGJ harus menggunakan cara komunikasi yang spesial. 

Stigma negatif juga masih melekat pada penyintas gangguan jiwa. Banyak masyarakat yang khawatir para penyintas gangguan jiwa yang tidak dibekali kemampuan tertentu sehingga kembali kambuh. Padahal ODGJ yang telah pulih telah melewati proses yang panjang, baik melalui rehabilitasi di panti rehabilitasi mental maupun penanganan medis di rumah sakit. Melalui panti rehabilitasi dan rumah sakit ini para penyintas ditanamkan untuk aware terhadap dirinya sendiri, seperti menghindari senjata tajam bahkan jika merasa ada yang “kurang beres” dari dirinya segera melarikan diri ke rumah sakit jiwa terdekat.

Para penyintas gangguan jiwa juga dibekali dengan keahlian untuk kembali hidup bermasyarakat. Para penyintas yang telah pulih berhak untuk hidup seperti manusia biasa. Berdasarkan yang saya temui, penyintas ODGJ mampu membantu pekerjaan tukang dalam membangun pos satpam. 

Di komunitas yang saya inisiasi, Gandeng ODGJ, sebuah komunitas yang berfokus dalam memberikan pemberdayaan terhadap penyintas gangguan jiwa, kami memberikan bibit lele, sayur, budidaya buah, hingga pelatihan untuk menuangkan kreativitas penyintas melalui seni lukis. Betapa tersentuh hati saya ketika mendengar para penyintas enggan untuk meninggalkan panti rehabilitasi mental tempat mereka dirawat karena ingin mengabdikan diri sebagai relawan untuk membantu teman-temannya untuk sembuh dan kembali bermasyarakat.

 

Penyintas Berhak Melanjutkan Pendidikan

Seperti manusia pada umumnya, penyintas gangguan jiwa juga berhak mendapatkan akses pendidikan yang baik. Dengan catatan, perguruan tinggi yang menjadi tempat bagi para penyintas gangguan jiwa menempuh pendidikannya mengetahui riwayat tersebut. Hal ini penting sebab perguruan tinggi dapat menyediakan fasilitas konsultasi kesehatan bagi mereka. 

Fasiltas kesehatan mental ini dibutuhkan oleh penyintas gangguan jiwa, selain memberi rasa aman, langkah ini menjadi upaya preventif sehingga mereka bisa menikmati masa-masa perkuliahan dengan penuh cinta. Tidak jarang mahasiswa merasa under pressure dalam menjalani perkuliahan. Hal ini bisa menjadi start point masalah mental yang dapat berujung pada masalah kejiwaan serius jika dianggap terlalu berat. Selain itu, kampanye kesehatan mental perlu digalakkan untuk raising awareness terhadap sivitas akademika di perguruan tinggi tersebut.

Untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang ramah bagi penyintas gangguan jiwa juga menjadi tanggung jawab bersama, termasuk peran dari mahasiswa. Mahasiswa yang mengetahui rekannya merupakan penyintas ODGJ perlu menjadi teman yang baik dan tanggap, artinya menerima penyintas apa adanya, serta tanggap jika membutuhkan bantuan, terutama pendampingan medis.

Mahasiswa juga dapat berperan sebagai support system, yakni mendukung penyintas untuk mengikuti berbagai pelatihan yang dapat menunjung kreativitas mereka. Pelatihan yang dapat diikuti beragam, seperti art class atau creative class meronce aksesoris, baking, membuat pot, dan menyusun bunga.

Orang Dengan Gangguan Jiwa dan penyintas gangguan jiwa adalah bagian dari kita. Sudah menjadi kewajiban bersama bagi kita untuk memberikan pelukan serta rangkulan yang lebih hangat untuk mereka. Hal yang tak penting lainnya ialah perlunya menggalakkan kampanye kesehatan mental untuk membangun kesadaran masyarakat akan keberadaan ODGJ dan penyintas gangguan jiwa sebagai manusia biasa yang tak berbeda dengan kita. 

 

*Nurisha Kitana merupakan Duta Universitas Indonesia 2023 dan Mahasiswa Berprestasi Pengabdian Masyarakat FISIP Universitas Indonesia 2023. Mahasiswa program studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, ini aktif sebagai relawan di berbagai komunitas sosial dan menjadi inisiator Komunitas Gandeng ODGJ, komunitas yang berfokus pada isu kesehatan mental, terutama Orang Dengan Gangguan Jiwa. 

Bagikan artikel ini

Artikel lainnya