Guna mencegah terjadinya stunting pada anak, orang tua diharapkan memantau pertumbuhan anak dan rutin mendatangi pusat kesehatan seperti Posyandu.
Pemerintah Indonesia terus mengupayakan agar angka stunting di Tanah Air menurun hingga mencapai 14 persen pada 2024. Target ini ditetapkan pemerintah guna memastikan sumber daya manusia (SDM) Indonesia berkualitas dan berdaya saing tinggi di masa depan.
Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, angka stunting di Indonesia masih berada pada angka 24,4 persen. Staf pengajar Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI) Dr. Fajar Tri Waluyanti, SKp, MKep, Ns. Sp.Kep.An mengatakan, yang paling dikhawatirkan dari stunting ialah terhambatnya perkembangan kognitif pada anak. Padahal, 80 persen perkembangan otak anak terjadi pada rentang usia 0-2 tahun. Jika otak tidak ternutrisi dengan baik, kemampuan kognitif anak tidak berkembang dengan baik.
“Bayangkan jika angka stunting Indonesia masih di kisaran 25-30 persen, maka 25-30 tahun ke depan, kualitas SDM kita kurang berkualitas dan berdaya saing,” papar Fajar.
Fajar menambahkan, dengan kemampuan kognitif yang rendah, anak-anak akan sulit menangkap pelajaran di sekolah. Selain itu jika salah penanganan, anak yang mengalami stunting berisiko tinggi terkena penyakit degeneratif yang tidak diinginkan.
Stunting, lanjut Fajar, terjadi pada anak dengan kurang gizi kronis dan infeksi kronis. Intervensi yang selama ini dicanangkan untuk menanggulangi stunting dilakukan dengan intervensi sensitif dan intervensi spesifik. Intervensi spesifik erat kaitannya dengan asupan nutrisi pada anak dan praktik pemberian makan pada bayi dan anak serta ibu hamil. Sementara intervensi sensitif boleh diartikan sebagai intervensi yang berhubungan dengan kebersihan, akses air bersih, pangan, layanan kesehatan, dan sanitasi serta pengasuhan.
“Kendati asupan makannya banyak, tetapi ketika anak gampang sakit karena sulitnya mendapat air bersih dan pangan yang bergizi, asupan makanan ini digunakan tubuh untuk proses penyembuhan. Akhirnya tinggi badan anak tidak bertambah,” terang Fajar.
Preventif dengan Pemantauan Z Score
Lebih jauh Fajar menjelaskan, stunting bisa dicirikan dengan Tinggi Badan atau Panjang Badan tidak sesuai menurut umur atau di bawah 2SD (standar deviasi) pada kurva Z Score. Menurut Fajar, indikator stunting ini secara populasi menjadi indikator awal yang memudahkan skrining dibandingkan melakukan test kognitif yang masih sulit pada usia di bawah dua tahun. Padahal efek hambatan kognitif yang dikhawatirkan perlu dicegah sedini mungkin. Oleh karena itu, upaya preventifnya adalah dengan melakukan pemantauan pertumbuhan, salah satunya adalah pengukuran panjang badan yang kemudian dimasukkan dalam grafik pertumbuhan PB/U.
Tindakan preventif terhadap kasus stunting dimulai dari proses kehamilan yang disebut 1000 hari Pertama Kehidupan (HPK). Menurut Fajar, ada riset yang menunjukkan bahwa preferensi makan anak dipengaruhi preferensi makan sang ibu saat hamil. Jika selama kehamilan, ibu enggan memakan telur, maka besar kemungkinan sang anak tidak suka telur. Ini baru hal kecil terkait preferensi, bagaimana dengan asupan nutrisi ibu hamil yang tidak dapat mencukupi kebutuhan kalori ibu hamil dan janin di dalamnya. Risiko bayi lahir kecil atau Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) menjadi tinggi. Ini menjadi salah satu faktor penyumbang kejadian stunting.
Guna mencegah terjadinya stunting pada anak, kesadaran untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan anak menjadi hal mutlak. Fajar mengimbau kepada para ibu agar membawa anaknya ke Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Melalui Posyandu, Berat Badan dan Tinggi Badan anak akan diukur. Hasil pengukuran ini akan dimasukan dalam grafik pertumbuhan dari bulan satu ke bulan berikutnya, sehingga terpantau adanya kenaikan atau penurunan menurut usia bayi atau anak. Jika dalam dua bulan tidak terjadi kenaikan, tenaga medis akan merekomendasikan anak ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) untuk dilakukan intervensi dan skrining lanjutan.
Fajar menilai, sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran stunting bagai pisau bermata dua. Terdapat fenomena di lapangan di mana beberapa orang tua yang merasa malu jika anaknya dikatakan stunting. Di satu sisi, dengan mengetahui status stunting pada anak, penanganan dapat dilakukan dengan baik. Komunikasi, informasi, dan edukasi yang tepat baik isi, media, maupun cara menjadi penting dilakukan sebagai upaya penyadaran terhadap situasi stunting bagi seluruh masyarakat agar respons untuk memperbaiki diri maupun lingkungan dapat secara optimal dikerjakan oleh semua pihak.
Fajar menambahkan, terdapat idiom yang dapat mewakili tanggung jawab bersama penanggulangan stunting, “It takes whole villages to raise a child”. Oleh karena itu sebagai tenaga medis, ia bersama para koleganya membangun Yayasan Gema Indonesia Menyusui yang bertujuan untuk mengedukasi para ibu.
Sebagai tenaga pengajar, Fajar berharap agar edukasi mengenai stunting mendapat porsi lebih banyak dalam proses belajar mengajar, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Menurutnya, materi-materi bermuatan stunting ini perlu dimasukkan ke dalam kurikulum. Semua profesi yang berhubungan dengan ibu hamil, bayi dan anak penting untuk memiliki kesadaran dan empati akan stunting ini.
“Kita tidak bisa memikirkan kondisi stunting hari ini saja. Kalau kita ingin generasi masa depan yang andal dan berdaya saing, menanggulangi stunting menjadi hal yang tidak bisa dielakkan.”