Peristiwa perundungan di salah satu sekolah swasta yang melibatkan salah satu anak artis papan atas Indonesia ramai diperbincangkan di lini massa. Kasus ini kembali memunculkan isu-isu terkait kenakalan remaja yang berujung pada tindakan kriminalitas. Banyak kemudian yang beranggapan bahwa dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi pergeseran kualitas kenakalan anak atau remaja yang berujung pada tindakan kriminalitas.
Saya tidak melihatnya demikian. Perilaku kejahatan, baik yang dilakukan oleh remaja maupun dewasa pada dasarnya adalah pola perilaku yang berulang. Kesan bahwa kualitas kejahatan semakin buruk juga dipengaruhi oleh pemberitaan media massa. Persepsi dan rasa takut menjadi korban kejahatan (fear of crime) tidak melulu muncul karena pengalaman menjadi korban kejahatan atau menyaksikan kejahatan secara langsung, tetapi juga dipengaruhi oleh bagaimana media menceritakan dan menggambarkan kejahatan dengan pengemasan yang didramatisasi.
Saya memperhatikan beberapa perilaku kenakalan anak yang cukup menonjol dan mendapatkan peliputan dari media massa. Salah satunya mengenai seorang anak di Kalimantan Selatan yang menusuk teman sebayanya di sekolah. Video penusukan ini ramai di lini massa pada Juli 2023 lalu. Informasi yang saya terima, hal tersebut dipicu kemarahan karena pelaku merupakan korban perundungan.
Kualitas atau tingkat keseriusan permasalahan kenakalan anak akan berbanding terbalik dengan seberapa serius kita menciptakan ruang aman bagi tumbuh kembang anak dan remaja. Kasus di atas menjadi bukti bahwa ruang sosial yang tidak aman dan tidak nyaman bagi anak begitu berpengaruh pada keputusan anak untuk meresponsnya dengan melakukan tindakan yang merugikan. Semakin serius kita membangun lingkungan sosial yang ramah anak, maka semakin rendah potensi terjadinya peristiwa kenakalan.
Perlu dipahami bahwa keterlibatan remaja dalam perilaku yang bertentangan dengan norma sosial dan norma hukum erat kaitannya dengan keterpaparannya pada pola asuh, lingkungan sosial tempatnya berinteraksi, dan informasi (bacaan, tontonan, dan lain-lain). Baik secara langsung maupun tidak langsung, pada prinsipnya orang dewasa memiliki tanggung jawab untuk menciptakan ruang tumbuh kembang yang kondusif bagi anak. Ketika terdapat peristiwa anak atau remaja melakukan pelanggaran hukum, maka yang pertama kali perlu dievaluasi adalah sejauh mana upaya pencegahan yang telah orang dewasa lakukan, bagaimana sistem dan otoritas bekerja melalui program-program edukasi, dan upaya preventif lainnya.
Dua Tingkatan Kenakalan Remaja
Kenakalan anak atau remaja adalah perilaku pelanggaran norma sosial atau norma hukum. Saya melihat terdapat dua tingkatan kenakalan. Tingkatan pertama adalah kenakalan yang tolerable dan tingkatan selanjutnya adalah kenakalan yang non-tolerable.
Kenakalan tolerable adalah perilaku anak yang tidak sesuai atau bertentangan dengan norma sosial yang berlaku, tetapi tidak dikategorikan sebagai pelanggaran hukum positif. Misalnya, ketika anak mengucapkan bahasa kasar atau membolos sekolah. Pada tingkatan ini, orang dewasa (orang tua, guru, tokoh masyarakat) perlu merespons dengan bijak agar anak mengetahui bahwa perilaku tersebut tidak dikehendaki.
Sementara kenakalan yang non-tolerable adalah kenakalan yang diklasifikasikan sebagai pelanggaran hukum positif. Rentang kenakalan ini mulai dari pelanggaran lalu lintas hingga pelanggaran pidana. Dalam merespons kenakalan yang non-tolerable, pemberian hukuman saja tidak cukup efektif tanpa mengetahui sebab-sebab mengapa remaja tersebut melakukan pelanggaran hukum.
Terdapat tiga faktor yang menyebabkan anak melakukan kenakalan. Pertama, lingkungan sosial. Anak akan mempelajari banyak nilai dan perilaku dari ruang sosial tempat ia berinteraksi sehari-hari. Ia akan mencontoh perilaku baik dan sesuai norma, serta mempelajari perilaku-perilaku yang tidak dikehendaki secara sosial. Misalnya, anak belajar merokok dari teman-teman sebayanya.
Kedua, pencarian pengakuan. Lazimnya anak ingin memperoleh eksistensi yang diakui oleh lingkungan sosialnya. Sayangnya, tidak seluruh anak mengupayakan pengakuan dengan cara-cara positif seperti berprestasi atau bertalenta. Sebagian anak mengupayakan pengakuan sosial dengan melakukan perilaku yang tidak sesuai norma, misalnya, berkelahi dan melakukan tindakan kekerasan.
Ketiga, ikatan sosial yang lemah (social bond). Anak atau remaja terlibat kenakalan karena kontrol atau pengendalian yang lemah dari orang tua atau gurunya. Ia menjadi tidak terikat pada nilai dan norma sosial yang seharusnya menjadi rambu-rambu dalam bertingkah laku.
Penegakan Hukum Harus Menjadi Pilihan Terakhir
Dalam menangani kenakalan remaja yang perlu dilakukan ialah mengupayakan pencegahan. Penting bagi kita membangun kesejahteraan anak (child wellbeing) secara sistem yang akan melahirkan ruang tumbuh kembang anak. Dengan begitu anak atau remaja akan lebih sering terpapar dengan sosialisasi dan edukasi nilai-nilai yang sejalan dengan norma sosial dan norma hukum.
Sementara penegakan hukum harus menjadi pilihan paling akhir (ultimum remedium). Apabila penegakan hukum dilakukan, maka langkah tersebut harus menghindari stigma dan label terhadap anak yang menghambatnya untuk kembali berkarya di masa depan.
Bagaimanapun anak yang terlibat dalam kenakalan patut dipertimbangkan bahwa pada dasarnya mereka merupakan korban dari belum optimalnya penciptaan ruang tumbuh yang aman bagi mereka. Penting pula memosisikan bahwa anak sebagai kelompok rentan: ia memiliki kapasitas dan kesempatan yang tidak sama dengan orang dewasa sehingga memperlakukan anak yang berhadapan dengan hukum memerlukan sensitivitas dan perspektif perlindungan Anak.
*Bhakti Eko Nugroho M.A; merupakan Dosen Tetap di Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia. Saat ini sedang menempuh Pendidikan Doktoral di School of Social Sciences, the University of Queensland, Australia. Artikel dibuat berdasarkan wawancara pada Minggu, 14 April 2024.