Bantu Petani dengan Alat Pantau Curah Hujan Lokal

Si-Cuhal dirancang untuk menyediakan data curah hujan, suhu, dan kelembapan udara di suatu wilayah. Memudahkan petani untuk menentukan masa tanam.

Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Dalam teknik pertanian presisi (precision agriculture), pengelolaan pertanian didasarkan pada pengamatan, pengukuran, dan respons terhadap variabilitas antar dan intra lahan pada tanaman. Pengamatan terhadap cuaca dan perubahan iklim juga menjadi faktor penting lainnya untuk mencapai hasil pertanian yang optimal. Sebab melalui pengamatan inilah para petani akan menentukan dimulainya musim tanam.

Peneliti Departemen Geosains Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI) Dr. Eng. Supriyanto, M.Sc mengatakan, padi merupakan tanaman yang membutuhkan air. Jika ditanam pada periode minimnya hujan, tanaman tersebut akan mati. Oleh karena itu, masa tanam biasanya berlangsung pada musim hujan ketika ketersediaan air sedang tinggi. Namun, perubahan iklim menyebabkan sulit untuk memprediksi curah hujan sehingga sulit menentukan masa tanam.

Guna membantu para petani melakukan pengamatan cuaca sehingga memudahkan dalam menentukan masa tanam, Supriyanto bersama sejawatnya di FMIPA UI merancang inovasi yang diberi nama Si-Cuhal (Sistem Informasi Curah Hujan Lokal). Inovasi ini menyediakan data curah hujan yang kemudian disimpan ke dalam cloud server. Data mengenai curah hujan lokal ini dapat dipantau secara realtime.

“Gagasan awalnya terinspirasi Prof. Yunita Triwardani, Guru Besar Antropologi UI, yang membina para petani di Indramayu. Beliau mengajak para petani memperhatikan perubahan iklim dan cuaca dalam proses bertani. Pengamatan terhadap iklim ini ternyata berpengaruh pada hasil panen yang stabil dan cenderung meningkat,” ucap Supriyanto.

Supriyanto menambahkan, para petani yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim (P2TPI) setiap hari memantau curah hujan dengan memanfaatkan kaleng atau paralon yang diikat di sebuah batang bambu kemudian ditancapkan di sawah. Jumlah ketinggian air hujan pada wadah tersebut kemudian dicatat ke dalam sebuah buku. Dari hasil pengamatan bertahun-tahun, kelompok petani dapat mengetahui tren curah hujan sehingga memudahkan mereka dalam menentukan kapan dilakukannya masa tanam.

“Inovasi ini mengubah pemantauan curah hujan yang sebelumnya dilakukan secara manual oleh petani. Melalui inovasi ini, petani dapat mencatat, mendokumentasikan, serta menganalisis intensitas curah hujan melalui gawai,” ujar Supriyanto.

Informasi Penting bagi Pemangku Kepentingan

Dikembangkan sejak 2019, Si-Cuhal merupakan spin-off dari alat mitigasi banjir yang berfungsi untuk mengukur muka air sungai, muka air tanah, dan curah hujan. Inovasi pemantau curah hujan lokal ini kemudian ditambahkan fitur untuk mencatat suhu dan kelembapan udara. Kedua fitur tambahan ini merupakan permintaan khusus dari para petani. Menurutnya, para petani menyadari bahwa organisme pengganggu tanaman sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembapan udara.

Sebagai spin-off dari alat mitigasi bencana, ketangguhan alat ini dalam mengumpulkan data sudah teruji dengan baik. Selain tidak mudah rusak, Si-Cuhal menggunakan solar panel sehingga memiliki sumber energi yang tak terbatas. Inovasi ini pun dapat dipasang di mana saja. Si-Cuhal bisa diimplementasikan di lahan pertanian di seluruh Indonesia selama tersedia infrastruktur komunikasi Global System for Mobile Communication (GSM).

Platform pemantau curah hujan lokal ini, lanjut Supriyanto, tidak hanya dapat dimanfaatkan oleh para petani saja. Alat ini juga ditujukan untuk mengakomodasi kebutuhan informasi bagi pemerintah daerah maupun dinas pertanian. Informasi mengenai cuaca selama ini diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Persoalannya, jarak antara satu stasiun dengan stasiun pemantau lain yang dimiliki BMKG sangat jauh sehingga informasi yang diberikan bersifat regional, belum mampu menjangkau hingga ke tingkat kabupaten, kecamatan, bahkan desa.

“Data yang dimiliki BMKG belum terlalu rapat untuk kebutuhan petani. Gap ini yang coba kami isi. Kami melihat alat ini juga penting untuk pemerintah. Informasi yang dihimpun alat ini bisa digunakan para penyuluh pertanian untuk memberi arahan yang tepat kepada petani,” ucap Supriyanto.

Supriyanto berharap, sebagai bangsa yang besar, Indonesia tak boleh hanya menjadi target pasar dari negara-negara lain. Melalui inovasi ini, ia ingin membuktikan bahwa Indonesia mampu menciptakan teknologi pertanian secara mandiri tanpa perlu bergantung pada negara lain.

Bagikan artikel ini

Artikel lainnya