Meningkatkan kepekaan dan mencari referensi di berbagai sumber menjadi cara melindungi diri agar tidak tertipu konten rekayasa AI saat belanja daring.
Penipuan belanja daring menggunakan artificial intelligence (AI) semakin marak terjadi. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Republik Indonesia, dalam tujuh tahun terakhir, pelaporan penipuan daring mencapai lebih dari 500.000 laporan.
Menurut Pakar Komunikasi Digital Universitas Indonesia Dr. Firman Kurniawan, penipuan menggunakan AI semakin hari memang semakin maju, dalam pengertian material yang digunakan semakin mampu diterima oleh pancaindra manusia secara utuh. Deepfake, misalnya, mampu menirukan suara, intonasi, dan mimik muka manusia.
“Menjelang pemilihan presiden 2024, untuk menciptakan hipotesis tertentu, Presiden Joko Widodo ditampilkan berpidato menggunakan Bahasa Cina. Perlu waktu untuk membuktikan bahwa konten tersebut merupakan rekayasa AI,” ucap Firman.
Dalam konteks belanja daring, pelaku kejahatan memanfaatkan teknologi deepfake dengan menampilkan testimoni yang seolah-olah berasal dari selebritis maupun influencer. Belum lama ini, pelaku kejahatan merekayasa video yang menampilkan dr. Tirta dan dr. Zaidul Akbar yang tengah mempromosikan produk suplemen. Baik dr. Tirta dan dr. Zaidul Akbar kemudian membantah dan menyebut bahwa video tersebut merupakan rekayasa.
Menurut Firman, masyarakat perlu membiasakan diri mencari tahu mengenai track record para selebritis maupun influencer. Dengan begitu, mereka akan mengetahui apakah produk-produk yang ditawarkan memang merupakan rekomendasi dari para figur publik atau rekayasa pelaku kejahatan.
“Konsumen jangan cepat percaya. Penting untuk menggunakan berbagai sumber, apalagi produk yang dibeli mahal, berisiko tinggi, dan menjanjikan khasiat yang fantastis,” ucap Firman.
Pentingnya Meningkatkan Kepekaan Terhadap AI
Dosen Pascasarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI menambahkan, konten rekayasa AI memang hampir sempurna dan secara sepintas sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu penting untuk meningkatkan kepekaan terhadap teknologi kecerdasan artifisial ini. Tanpa melatih kepekaan diri, maka semakin mudah terjebak penipuan.
“Kalau kita sering berhadapan dengan material AI, kita bisa tahu dan merasa bahwa konten ini to good to be true untuk bisa disebut alamiah. Bahkan ketika kita berinteraksi, kita akan mengetahui bahwa refleks yang dihasilkan teknologi AI tidak sama seperti manusia,” ujar Firman.
Kendati demikian, Firman menilai, di samping pentingnya masyarakat untuk terus belajar dan meningkatkan kepekaan diri, pihak e–commerce juga bertanggung jawab untuk menyediakan beragam saluran informasi yang bisa diakses oleh masyarakat. Dengan begitu masyarakat dapat mengonfirmasi ke sumber yang benar.
“Guna menumbuhkan kehati-hatian konsumen, Pemerintah Indonesia perlu melindungi masyarakat dengan cara mengharuskan penggunaan watermark dan pernyataan bahwa konten tersebut merupakan rekayasa AI,” ucap Firman.
Tips Agar Tak Terjebak Penipuan
- Jangan mengobral data pribadi. Wajah dan suara kita termasuk data pribadi yang sebaiknya tidak mudah disebarluaskan di dunia digital. Pelaku kejahatan dapat memanfaatkan wajah dan suara kita untuk menipu orang lain.
- Gunakan sumber berlapis. Jangan mudah mempercayai produk yang ditawarkan. Konfirmasi mengenai kebenaran produk tersebut di berbagai sumber informasi.
- Perbarui modus-modus penipuan yang menggunakan teknologi. Semakin pesatnya perkembangan teknologi, semakin banyak modus yang digunakan pelaku kejahatan.
- Jangan berhenti belajar. Jika tidak ingin dikelabui oleh AI, maka kita harus meniru cara mereka menjadi cerdas, yakni dengan terus belajar. Agar tidak dikalahkan, kita harus terus belajar.